DeFACTO.id – Di wilayah Kabupaten Madiun, banyak terdapat kuliner’’ndesa’’ yang sangat dikenal. Termasuk pecinta kuliner dari luar daerah. Seperti Soto Mojorayung dan juga Soto Ayam ‘Ndesa’ di Sawahan. Soto ini sempat disinggahi oleh orang-orang top, seperti penulis skenario Si Doel Anak Sekolahan.
Dan yang tak kalah legend adalah Pecel Pincuk Godong Jati yang lokasinya juga di ndesa. Tepatnya di Dukuh Klencongan, Desa Kedungrejo, Kecamatan Pilang Kenceng, 3 km dari Kota Caruban.
Penjualnya sudah nenek-nenek, Mbah Simah namanya. Ia sudah berjualan pecel sejak tahun 1980, di saat ia masih muda. Semula berjualan keliling dengan menggunakan bakul besar rinjing yang digendong. Seperti juga ciri khas bakul pecel masa lalu.
Karena semakin renta, Mbah Simah pun mendirikan warung kecil di desanya. Sejak tahun 2012, warung pecelnya semakin tekenal. Pelanggannya terdiri dari berbagai strata masyarakat. Dari orang biasa sampai pejabat. Bahkan Wakil Bupati Madiun Heri Wuryanto pun jadi pelanggan tetapnya. Hery selain berlangganan juga setiap jumat selalu pesan paling tidak 100 bungkus untuk Jumat Berkah.
Mengapa warung kecil ndesa itu sampai banyak mempunyai pelanggan? Tentu ada sesuatu yang menarik, yang membuat pelanggan selalu ingin datang kembali. Yang pertama, sejak dulu menggunakan pincuk godong (daun) jati. Maklum, Pilangkenceng dekat dengan hutan jati Saradan.
Selain itu, membuat sambel pecelnya tetap memertahankan cara tradisional. Yakni ditumbuk dengan lumpang. Tidak digiling seperti banyak penjual nasi pecel lainnya sekarang ini. Dengan cara ditumbuk maka kacang tanahnya pun masih mringkil hingga berasa sekali gurih kacangnya. ‘’Untuk kacangnya saya sangrai, tidak digoreng menggunakan minyak,’’ kata Mbah Simah.
Dengan ciri khas tradisional itulah membuat warung sederhana Mbah Simah laris manis. Setiap hari bisa menanak beras sampai 15 kg. Jumlah itu tak sedikit untuk warung ukuran ndesa. Bahkan kalau hari libur bisa lebih dari 25 kg. Ruarrrr biasa.
Selain itu, Mbah Simah juga menyiapkan menu-menu tradisional lainnya. Seperti sambel korek (sambal terasi mentah tapi lilit), nasi sambal teri, sambal bawang dan lainnya. Selain itu juga siap dengan pesanan khusus. Misalnya, sayur aem telur dadar dan tempe goreng. Dan semuanya fresh from the pawon. Dimasak saat ada pesanan.
‘’Banyak juga yang minta agar sambal koreknya disiram minyak panas bekas nggoreng tempe atau teri. Katanya rasa bisa lebih nendang,’’ cerita Mbah Simah sambil tertawa.
Makan dalam suasana suasana desa dekat hamparan persawahan menghijau dengan hembusan semilir angin, pasti punya sensasi sendiri. Apalagi dengan menu tradisional yang diolah secara tradisional pula. Membuat kerinduan yang mendalam pada masa bocah.
Harga juga tak membuat kantong bolong. Nasi pecel ,sambel trasi ,sambel bawang lauk tempe peyek cuma Rp 5000. Kalau mau tambah telur plus es teh, konsumen cukup menyediakan Rp 10 ribu saja.
Dengan pelayanan yang ramah tak membuat masa pandemi menyurutkan omzetnya. Setiap hari, buka dari pagi sampai sore tak kurang Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta masuk kotak uangnya.
Meski demikian Mbah Simah tetap akan memertahankan kondisi warungnya. Paling hanya tambal sulam bila ada yang rusak’’Ini waung janur ajur, jadi biar begini saja,’’ akunya.* Yuliana