Oleh SANTOSO
Pasar Wisata Budaya Pundensari di Kabupaten Madiun, sebenarnya cukup lama saya kenal. Tapi selama ini hanya di layar monitor dengan membuka tulisan dan video tentang pasar itu lewat Google maupun sosial media.
Karena saat itu saya terserang stroke, saya baru bisa mengunjungi hari Minggu, 14 November lalu. Dari diskusi kecil-kecilan dengan beberapa mantan wartawan yang ikut bekunjung, ada satu hal yang menjadi fokus pembahasan. Yakni pasar itu mampu bertahan hampir 3 tahun lamanya. Tepatnya 2 tahun 7 bulan. Tapi mampu menyedot pengunjung ribuan setiap hari Minggu pagi. Padahal durasi bukanya hanya sekitar 5 jam, antara jam 06,00 sampai 11.00.
Kalau dilihat sepintas, rasanya tak ada yang sangat istimewa. Bangunan yang didominasi bambu,…ah…banyak yang lebih bagus. Dilihat dari jajanan tradisional yang dijadikan unggulan, juga biasa saja. Banyak di pasaran. Lantas apanya…apanya dong?
Dari pengamatan sesaat itu saya berani menyimpulkan, Pundensari bisa bertahan sampai saat ini karena ‘’ruh sadar wisata’’ yang ditanamkan di Pundensari begitu kuatnya. Nuansa itulah yag kami rasakan begitu memasuki areal pasar wisata kuliner itu.
Petugas dengan mengenakan lurik atau batik menyambut pengunjung begitu ramah. Termasuk Ketua Pokdarwis Bernardi S Dangin. Kesenian yang ditampilkan setiap minggu, mainan anak-anak tempo doeloe, memberi kesan nguri-uri seni tradisional. Dan sebelum buka, baik petugas, penjual makanan dan pengunjung menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Setiap Minggu ada ribuan pengunjung yang datang. Indikator jumlah pengunjung bisa dilihat dari omzet penjualan antara Rp 10 juta hingga 15 juta.
Kalau setiap pengunjung rata-rata untuk ‘’njajan’’ menghabiskan Rp 10 ribu saja, sudah terdapat angka seribu pengunjung. Jangan bandingkan ‘’njajan’’ sepuluh ribu di kota atau destinasi wisata papan atas. Di sini jajan seharga Rp 2.000 pun ada. Makan nasi pecel sepincuk hanya Rp 5.000 saja. Plus minum paling hanya menghabiskan Rp 8.000 saja.
Kalau saya katakan ‘’ruh sadar wisata’’ sepertinya cukup relevan. Ada beberapa indikator yang ingin saya sampaikan
Pertama Manajemen
Dari uang bambu sebagai alat transaksi. Bukan hanya karena keunikannya saja. Tapi lebih dari itu. Yakni destinasi wisata kuliner ini dikelola dengan manajemen yang baik dan terukur. Paling tidak pengelola bisa melihat naik turunnya penghasilan para bakul di situ. Mengingat salah satu tujuannya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu juga bisa melihat fluktuasi pengunjung. Sehingga untuk masukan kepada tim kreatifnya. Pada saat apa terjadi lonjakan pengunjung dan saat bagaimana pengunjung turun.
Kedua Tim Kreatif
Tim kreatif yang cukup cerdas untuk menyajikan hal baru dan menarik. Hingga pengunjung tidak bosan dan selalu ingin kembali. Pertunjukan seni budaya yang berganti-ganti jelas merupakan hasil pemikiran tim ini. Penampilan seni budya ini juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ‘’ruh sadar wisata’’ tadi.
Apalagi pada saat tertentu diadakan even-even yang menarik. Misalnya festival ‘’Gedang Selirang’’, Festival TUPKATA (tutup dan buka tahun).
Tim Publikasi
Tak bisa dipungkiri, publikasi merupakan hal yang amat sangat penting. Pengaruh publikasi ini sangat besar, untuk menarik masyarakat u bekunjung.
Saya lihat ada 3 akun di facebook yang digunakan promosi. Bahkan kini bekerja sama dengan sebuah perguruan tinggi swasta telah diluncurkan website, yang tentu lebih memperluas jangkauan promosi.
Dan lagi admin di facebook selain intens memosting acara-acara yang akan ditampilkan, juga sangat responsif dalam menjawab keingintahuan masyarakat luar.
Kalau ada yang kurang, belum terlihat adanya cindera mata khas dari destinasi wisata ini. Sehingga ada satu kenangan lagi yang bisa dibawa pulang. Selain tentu saja kepuasan batin.
Begitulah sedikit terawangan tentang Pasar Wisata dan Budaya Pundensari. Dengan tangan-tangan kreatif, yakin akan berkembang. Minimal bertahan.*