Home / Esai

Jumat, 27 Desember 2024 - 19:02 WIB

Wacana Musium Perfilman dan Nasib Sinematek Indonesia

Ada yang berubah di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan. Nama Pusat Perfilman H. Usmar Ismail yang terulis di lempengan beton setinggi 1 meter dan diberi pengerangan agar terlihat malam hari, kini sudah tidak ada lagi.  Lempengen betonnya masih ada, namun fisiknya sudah tidak menarik lagi, karena Nama Pusat Perfilman H. Usmar Ismail yang dulu tertempel anggun di situ, sudah dibongkar paksa.

Di bagian atas depan Gedung, sudah tertempel sebuah tulisan dari neon sign bertuliskan: Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail MUSIUM PERFILMAN Sinematek Indonesia (tulisan Musium Perfilman yang berada di tengah lebih besar, sehingga sangat mendominasi. Terutama bila malam hari neon sign itu menyala berwarna biru).

Sebagaimana umumnya penamaan sebuah Gedung, tentu saja nama tersebut ada kaitannya dengan Gedung itu sendiri. Bila kita lihat ada tiga entitas di dalam satu rangkaian nama yang terbuat dari neon sign itu, yakni: Yayasan Pusat Perfilman, Musium Perfilman, dan Sinematek Indonesia).

Nama Yayasan Pusat Perfilman dan Sinematek Indonesia masih bisa dipertanggungjawabkan, karena “barangnya” memang ada. Di Gedung itu ada Yayasan Pusat Perfilman (yang dipercaya oleh Pemprov Jakarta untuk mengelola Gedung, dan Sinematek Indonesia yang merupakan asset dari Yayasan maupun insan film pada umumnya). Tetapi Musium Perfilman, di mana “barang” itu?  Tidak ada! Entah apa dasar pengelola Gedung atau Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail menamai Gedung itu dengan tambahan Musium Perfilman.

Baca Juga  Pindad Perkenalkan Maung, Kendaraan Offroad untuk Pertempuran Jarak Dekat

Kepala Sinematek Indonesia, Akhlis Suryapati yang ditemui penulis di kantornya pekan lalu mengatakan, sampai saat ini dirinya tidak tahu persis bagaimana bentuk musium perfilman yang digagas oleh Yayasan PPHUI. Apakah musium itu nanti menjadi kepanjangan Sinematek Indonesia atau akan berdiri sendiri.

“Saya pernah sekali diajak rapat, tetapi setelah itu tidak lagi, karena dalam aturan Yayasan, Sinematek Indonesia merupakan divisi di bawah Yayasan PPHUI. Tapi waktu rapat itu memang saya ingatkan bahwa untuk mendirikan sebuah musium memang tidak gampang, karena menyangkut benda-benda yang masuk kategori benda musium dan proses kuratorialnya,” jelas Akhlis.

Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (YPPHUI) sendiri telah melakukan soft launching Museum Perfilman Sinematek Indonesia (MPSI) pada 21 Desember 2023 lalu. Acara itu dihadiri oleh Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan (KSP) RI Wandi Tutorong mewakili Kepala KSP RI Jenderal TNI (Purn) Dr.H. Moeldoko, S.IP., M.A., Ketua Badan Pengurus YPPHUI H. Sonny Pudjisasono, SH, MA, Aktor dan Ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) H. Deddy Mizwar, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) yang juga Ketua Badan Pembina YPPHUI H. Djonny  Sjafrudin, SH, pemilik PT Inter Studio Rudy Sanyoto, dan lain-lain, namun tanpa Ketua Sinematek Indonesia, Akhlis Suryapati.

Baca Juga  Ganjar Pranowo Jadi Presiden Kalau Mampu Naikan UMP 2021 di Jateng

“Kita melaunching sebagai museum perfilman adalah merupakan peningkatan bahwa Pusat Perfilman H. Usmar Ismail pada tahun 2008 telah ditetapkan sebagai salah satu situs sejarah yang dilindungi di bidang pariwisata dan kebudayaan oleh pemerintah”, tutur H. Sonny Pudjisasono, sebagaimana dikutip media online Askara.

Setahun lebih setelah lauching tersebut, ternyata tidak ada tanda-tanda pergerakan untuk merealisasikan pembuatn Musium Perfilman. Sehingga timbul pertanyaan di kalangan masyarakat perfilman yang berkantor di PPHUI, ada apa gerangan dengan Gerakan Yayasan PPHUI dengan mewacanakan pendirian Musium Perfilman.

Baca Juga  Ingin Murid Membaca Buku, Harus Dimulai dari Gurunya.

Kembali ke pertanyaan, apakan jika Musium Perfilman kelak benar-benar berdiri nasib  Sinematek Indonesia yang bersejarah, akan hilang? Bagaimana dengan benda-benda koleksinya, termasuk 2000 judul lebih film seluloid yang saat ini dirawat oleh Sinematek Indonesia?

Dan yang lebih penting lagi adalah, bagaimana Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail mewujudkan pendirian Musium Perfilman Indonesia, karena prosesnya akan sangat panjang, dan penyediaan fasilitasnya juga tidak mudah, mengingat perfilman memiliki benda yang sangat komplek. Perlu kurator yang benar-benar memahami sejarah benda-benda perfilman yang akan menjadi koleksi musium.

Sebenarnya tanpa bergenit-genit mewacanakan pendirian musium, Yayasan PPHUI sudah sangat berjasa bila mampu mempertahankan keberadaan Sinematek Indonesia yang didirikan oleh almarhum H. Misbach Yusa Biran pada tahun 1974. Apalagi tugas YPPHUI adalah membiayai Sinematek Indonesia, selain memelihara Gedung, dan memfasilitasi organisasi perfilman yang memiliki sekretariat di PPHUI, dan mengelola Pendidikan dasar perfilman (Citra Film School) dan beberapa tugas lainnya yang bersifat abstrak.  Itu saja dulu ditangani, mengapa harus mencari pekerjaan yang sulit direalisasikan? Hayo ada apa? (Herman Wijaya)

Share :

Baca Juga

Esai

Apakah Jenderal Luhut Akan Bertempur di Dua Front Sekaligus?
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Oposisi Terhadap Sebuah Zaman

Esai

Presidential Threshold Sang Tertuduh!

Esai

Lagu adalah Doa

Esai

Negara Sedang Baik-baik Saja?

Berita

SBY Ditembok Mega, Cak Imin Digaris Yenny

Esai

Mencari Calon Presiden untuk Indonesia
Kartun

Esai

Lebih Baik ke Penjara