BHAGAWAD GAWAT. Saya merasa pas menyebutnya sebagai “Roman Surealisme”. Walaupun istilah surealisme lebih lazim diterapkan di dunia seni rupa–lukisan surealisme Salvador Dali, misalnya. Saya menyebut Bhagawad Gawat sebagai Roman Surealisme karena secara sederhana sang tokoh Menot Sumenot dan Raden Cengkuwuk adalah dua spesies berbeda. Satu manusia, satunya lagi wayang.
Menot Sumenot, manusia tragis. Bapak Ibunya disembelih lantaran didakwa PKI dan Gerwani. Raden Cengkuwuk, wayang ironis, yang konon keturunan terakhir wangsa Kurawa. Ia nyebur ke dunia Manot dengan memanggul beban sejarah yang oleh Dewi Gendari, Ibunda Kurawa, digambarkan, “Wahai Raden Cengkuwuk! Bersiaplah digebah amuk! Kerna sejarah yang jujur tak lain subversi yang bangkit dari kubur!”
Sebelum menulis bab terakhir, tahun 2008, Bhagawad Gawat saya berikan kepada Mas Remy Silado, Mas Willy Rendra, Mas Arswendo Atmowiloto ( ketiganya kini sudah meninggal) dan Prof. Ahmad Erani Yustika. Juga lewat email saya kirimkan kepada Butet Kartaredjasa, Ong dan sejumlah teman lain. Saya hanya ingin tahu komentar mereka.
Mas Erani mendorong saya segera menerbitkannya. Mas Arswendo memberi catatan pendek “Nakal, Genial, Orisinal”. Selain itu, Mas Wendo juga selalu menyebut saya sebagai pengarang Bhagawad Gawat. Tapi, hari ini, 15 tahun kemudian, saya baru berhasil menulis bab terakhir Bhagawad Gawat. Sekarang, roman surealisme ini sedang saya siapkan untuk diterbitkan. ***
*Foto buku BLAKANIS karya Arswendo Atmowiloto dan tulisan tangannya.