Home / Esai

Minggu, 14 November 2021 - 12:34 WIB

PT KAI Line di Stasiun Bogor

deFACTO – Harus diakui keberadaan keretap api rel listrik (KRL) Commuterline sangat memudahkan mobilitas masyarakat. Baik untuk para pekerja, pebisnis maupun masyarakat yang ingin bepergian dengan berbagai keperluan.

Tarifnya murah, suasana di dalam kereta bersih, sejuk, dan aman. Tetapi barang-barang pribadi sebagaiknya tidak diletakan di bagasi. Takut lupa atau ada tangan jahil, meski pun banyak pengguna KRL Commuterline yang mendapatkan kembali barang-barangnya yang tertinggal di kereta api bila tertinggal.

KRL juga menyediakan bangku-bangku prioritas untuk lansia, wanita hamil dan disabilitas, kendati bangku-bangku ini seringkali digunakan oleh yang “tidak berhak”, dan petugas di kereta tidak menegurnya.

Garis pembatas di pintu keluar Srasiun Bogor yang sudah teronggok

Petugas baru bertindak bila ada penumpang yang mengeluh dengan kondisinya lalu melapor kepada petugas. Biasanya petugas akan meminta orang-orang yang tidak berhak itu untuk memberikan kursinya kepada orang yang berhak (lansia, wanita hamil atau disabilitas).

Para prinsipnya KRL Commuterline memberikan hak yang sama kepada setiap penumpang. Tidak ada diskriminasi dalam bentuk apa pun, kepada penumpang yang membeli tiket. Dengan adanya commuterline, masyarakat bawah yang dulu hanya bisa mimpi naik moda angkutan ber-AC dingin, kini sudah bisa mendapatkan pengalaman nyata.

Saya pernah melihat seorang anggota DPR dan eks Ketua KPK naik commuterline, berbaur dengan penumpang kebanyakan.

Suatu hari saya bertemu dengan seorang perempuan lansia yang hampir setiap akhir pekan menghabiskan waktunya dengan naik KRL Commuterline sejauh mungkin agar bisa menikmati istirahat dalam suasana yang sejuk.

Baca Juga  DI BALIK REFORMASI 1998: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (II):

Perempuan lansia itu mengaku tinggal sendiri di Bekasi, karena anak perempuan satu-satunya sudah bekerja di kawasan Kota, Jakarta, dan ngekos di sana. Bila rindu dengan anaknya sang ibu pergi ke Jakarta naik commuterline, lalu meminta anaknya untuk menemui di stasiun kereta yang ditentukan.

“Kadang ibu susah nemuin dia, karena dia sering pergi bersama teman-temannya,” keluh perempuan lansia itu.

Karena tidak ada lagi tempatnya mencurahkan isi hati, dan ingin merasakan suasana yang tenang, sejuk dan bersih, bila akhir pekan ia meninggalkan rumah kecil miliknya yang menurutnya panas dan sumpek. Ia lalu naik KRL Commuterline tujuan Manggarai. Dari stasiun transit itu ia menuju stasiun Tanah Abang. Dari Tanah Abang dia melanjutkan ke Rangkasbitung!

“Ibu naik ke Rangkasbitung yang jauh, supaya bisa tidur. Kan enak, rasanya adem. Nanti sampe Rangkasbitung ibu enggak ke luar stasiun, tapi kembali lagi ke Jakarta,” tuturnya dengan mimik gembira.

Namun satu yang dikeluhkan sang ibu – mungkin juga banyak penumpang lainnya – yakni mengenai jumlah alat peturasan  (toilet) yang sangat terbatas di setiap stasiun, sehingga penumpang yang ingin buang air kecil atau besar seringkali antri.

Di setiap stasiun rata-rata hanya ada kurang dari 10 tempat kencing pria, dan dua tempat buang air. Bahkan di stasiun Manggarai sebelum dibangun peron baru yang setiap hari dikunjungi oleh puluhan ribu penumpang – baik yang turun di Manggarai atau sekedar transit – hanya ada 4 tempat buat air kecil – satu di antaranya untuk anak-anak – dan 3 tempat buang air besar tertutup.

Baca Juga  Engkau Pasti Tahu Aku Tak Punya Uang

Di Mersing, Johor, Malaysia, ada sebuah rest area yang tertata apik dengan toilet yang besar. Di toilet itu tersedia tempat sekitar 50 tempat untuk kencing pria yang bersih. Padahal dibandingkan jumlah penumpang KRL Commuterline yang menuju atau singgah di Manggarai, tidak sampai 1 persen jumlahnya!

Satu lagi yang kerap dikeluhkan penumpang adalah pintu ke luar / masuk stasiun yang jauh dari tempat kendaraan / angkutan umum berhenti.

Di stasiun Gondangdia, Cikini Manggarai, Stasiun Bogor atau beberapa stasiun lainnya, penumpang harus memutar dahulu bila hendak masuk atau ke luar stasiun. Sebetulnya itu bukan masalah besar, bagi penumpang yang terbiasa berjalan kaki. Tetapi bagi para lansia atau kaum disabilitas, jarak yang cukup jauh itu jadi persoalan tersendiri.

Apalagi PT KAI menyediakan jalan yang tanpa atap, sehingga penumpang harus kepanasan dan kehujanan bila cuaca buruk. Sementara lahan yang luas hanya dijadikan tempat parkir karyawan PT KAI. Mobil-mobil itu justru terlindung dari hujan dan panas, sedangkan penumpang dibiarkan menjalani nasibnya sendiri.

Di beberapa stasiun, under pass yang dibuat agar penumpang tidak melalui lintasan kereta juga cukup menyulitkan bagi lansia, ibu hamil atua penyandang disabilitas, karena jumlah anak tangganya yang banyak.

Di setiap stasiun kereta api, jumlah bangkunya sangat sedikit, sehingga bukan pemandangan aneh melihat penumpang, terutama kaum wanita, yang duduk di lantai peron karena tak tahan berdiri.

Baca Juga  Wani Piro Ingin Membawa Emil Mulyadi ke Indonesia?

Jum’at (12/11/2021), saya melihat pemandangan yang cukup membuat hati miris di Stasion Bogor. Akses penumpang menuju Taman Topi dan tangga yang menghubungkan stasion Bogor dan PL Paledang, ditutup dengan tali plastik pembatas (seperti police line)  berwarna merah, bertuliskan PT. KAI. Jumlahnya kira-kira lima helai yang dipasang berjajar.

Untuk ke luar/masuk stasiun penumpang harus memutar terlebih darulu ke Pintu Barat di Jl, Mayor Oking, dekat tempat angkot ngetem.

Aturan itu rupanya membuat penumpang tidak sabar. Penumpang yang sudah kadung turun dari tangga penyeberangan dan berhadapan dengan pintu masuk, lalu menerobos PT KAI line tersebut. Ada yang mengangkat bagian atas tali pembatas tersebut, lalu masuk. Ada pula yang menekannya ke kawah agar menjadi rendah, lalu dilompati.

Bukan satu dua penumpang yang melakukan itu, tetapi cukup banyak. Karena saat itu waktunya masyarakat berangkat kerja.

Cuma sebentar saja adegan itu berlangsung, tidak lama kemudian ada seorang lelaki – nampaknya pengemudi ojek pangkalan —  menarik putus tali-tali tersebut, sehingga pagar terbuka yang selalu menjadi tempat lalulalang penumpang, bisa dilewati seperti biasa.

Sementara tali-tali PT KAI Line itu hanya teronggok di bawah tiang pagar besi. Tak ada petugas yang bertindak.

Sebagai penumpang KRL Commuterline, saya bersyukur melihat keadaan itu. Semoga PT KAI lebih punya hati ke depan.

Oleh : Herman Wijaya

Share :

Baca Juga

Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (III):

Esai

Presidential Threshold Sang Tertuduh!

Berita

Rendra

Berita

Kampanye Stroke
Laksamana Sukardi

Berita

Senjata Nuklir Ekonomi
KOMIK WAGIMAN

Berita

Wawancanda Wagiman Deep: Program Mengatasi Banjir itu Sabar dan Berdoa. Cangkemkan!

Esai

Hakikat Pemimpin

Berita

Suara Hati Ganjar