DeFacto.id – Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang dan Bekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama. 431 penduduk menjadi korban.
Ini penggalan kisahnya. Diceritakan oleh saksi mata bernama Tarsa yang pernah saya temui:
Mencari Pejuang TNI
Gelap masih pekat, dingin menyelimuti Karawang dan sekitarnya. Kampung Rawagede seperti juga kampung kampung di sekitarnya, masih terlelap dibalut dinginnya udara.
Tanpa disadari penduduk kampung di seputar Rawagedeh, ada ratusan pasang sepatu lars tentara Kerajaan Belanda berjalan, mengendap dan menyebar sembari menutup semua jalan keluar dan masuk Rawagede!
Ya, Rawagede sudah di pilih oleh satuan tentara Belanda dari markas mereka di kota Karawang, untuk di jadikan target operasi. Sasaran operasi tentara Belanda adalah menangkap hidup atau mati kapten Loekas Koestarjo dari Divisi Siliwangi yang terkenal dengan sebutan “begundal dari Karawang”.
Intel tentara Belanda, rupanya sudah lama mengendus keberadaan markas sang begundal dari Karawang ini yang berada di desa Rawagede, hanya karena medan dilapangan dan simpati penduduk yang membuat tentara Belanda sulit memasuki desa Rawagede pada siang hari, sudah 3 kali di awal tahun 1947, tentara Belanda coba masuk ke desa itu, namun selalu gagal.
Setiap tentara Belanda mulai masuk dari arah Tanjungpura, penduduk biasanya sudah memberi peringatan pada TNI di Rawagede aga segera menyingkir. Biasanya penduduk membunyikan kentongan ramai-ramai, dan langkah ini manjur.
Kondisi medan di seputar Rawagede pun secara geografis sangat menguntungkan dari segi militer terutama Pihak pasukan kapten Loekas Koestarjo
Jalan masuk utama hanya satu dan dikelilingi sawah yang luas. Akan sangat mudah terlihat bila ada gerakan tentara Belanda yang akan memasuki Rawagede.
Ditambah dengan pembuatan berikade dan perusakan jembatan oleh penduduk dan TNI, maka sangat sulit bagi tentara Belanda memasuki wilayah ini, terutama siang hari, maka akhirnya dipilih penyerbuan malam hari dan dari arah masuk yang berbeda.
Dari arah Karangsarilah tentara Belanda mulai bisa mendekati desa ” bandel” ini, walau jalan memutar dan waktu malam menjelang pagi buta, pasukan infantri Belanda sekitar 300 orang akhirnya bisa masuk ke desa Rawagede.
Di saat yang bersamaan. Tarsa kecil masih lelap dalam tidur di bale bambu bersama ibunya, sedang dua paman Tarsa, Sengkin dan Kotol juga masih meringkuk dalam mimpi di bale bambu, di tengah rumah Tarsa.
Tiba tiba, dari arah pintu depan, ” Buka!, Buka!, keluar semua lelaki yang ada di dalam!”, teriakan keras sembari di sertai bunyi gedoran pintu rumah.
Kedua paman Tarsa kecil terbangun sembari masih bengong, tak tahu ada apa. Ibu Tarsa bergegas mendekati pintu. Belum sempat dibuka, pintu ditendang dari luar dan masuklah 3 tentara Belanda berseragam loreng sambil menodongkan senjata.
“Mana laki-laki di rumah ini!”, bentak seorang Serdadu Belanda pada mereka.
Ibu Tarsa ketakutan. Serdadu itu melihat dua anak remaja yang baru bangun karena kaget. Kedua anak tanggung itu adalah Sengkin dan Kotol, paman Tarsa yang masih berusia 14 dan 15 tahun. Sengkin dan Kotol adalah adik dari ibu Tarsa. Mereka memang tinggal di rumah itu.
Tanpa memperdulikan jeritan ibu Tarsa dan tangis ketakutan kedua paman Tarsa, mereka diseret dan digiring bersamaan dengan ratusan laki laki di desa itu di pagi buta 9 Desember 1947.
Ibu Tarsa berusaha mengejar adik-adiknya, tapi serdadu item tadi menghardik dan mengangkat popor senjatanya, “kembali ke rumah! Mau saya bawa sekalian??” , ia membentak.
Ibu Tarsa hanya bisa menangis, terduduk di halaman rumah. Sama seperti para ibu di kampung itu. Mereka hanya bisa meratap. Semua penduduk laki-laki dipisahkan dan diseret.
Tarsa kecil menangis. Ia bingung dan ketakutan. Dibawa kemana pamannya oleh tentara Belanda?
Pembantaian
Sampai akhirnya dari jauh terdengar suara rentetan tembakan. Semua kaget, dan pikiran jelek pun melayang, memikirkan nasib para lelaki yang tadi diseret Belanda.
Benar saja, puluhan bahkan ratusan tubuh-tubuh tak bernyawa terlihat berserakan di depan toko milik Tongwan, saudagar tiongkok satu-satunya di desa itu.
Mayat bergelimpangan dimana-mana dengan lubang peluru di belakang badan atau kepala, ada juga mayat di dekat sawah. Agaknya ia mencoba melarikan diri.
Penduduk yang panik mulai menuju arah suara tembakan, tujuannya hanya satu: mencari sanak saudara mereka!
Tarsa kecil mengikuti ibunya untuk menengok kondisi kedua pamannya. Mencari tubuh keduanya tak susah, ibu Tarsa hapal celana pendek yang dikenakan oleh mereka berdua.
Benar saja, diantara mayat-mayat yang bergelimpangan, Ibu Tarsa meihat kedua adiknya. Suara tangisnnya langsung meledak sejadinya.
Sembari menangis ibu Tarsa menyeret jenazah kedua adiknya dibantu Tarsa kecil. Mereka harus bekerja sendiri. Tak ada laki-laki lagi di desa itu sekarang.
Sampai hari ini Tarsa masih bertanya, apa salah kedua pamannya, Sengkin dan Kotol, yang masih di bawah usia, hingga turut dibantai?
- Pembantaian di Rawagede termasuk kejahatan perang dan melanggar HAM berat. Pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, 14 September 2011, memutuskan pemerintah Belanda harus meminta maaf kepada pemerintah Indonesia, dan memberi kompensasi kepada janda korban.
Rawagede, 2 Juli 2016, seperti dituturkan engkong Tarsa pada saya.
Beny Rusmawan