Home / Berita / Esai / Historia / Tokoh

Kamis, 13 Januari 2022 - 08:34 WIB

DI BALIK REFORMASI 1998: Oposisi Terhadap Sebuah Zaman

Laksamana Sukardi

Laksamana Sukardi

Oleh LAKSAMANA SUKARDI

PADA tahun 1994, saya tidak hanya menjadi anggota biasa Partai Demokrasi Indonesia (PDI), tetapi telah dipilih menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat PDI dan sekaligus menjadi Bendahara Umum partai. Karena jabatan tersebut dianggap sangat penting dan menjadi simbol oposisi terhadap penguasa (yang tidak suka terhadap oposisi), maka saya keluar dari Lippobank. (Baca: Politik Sebuah Orde)

Saya mendirikan ReFORM Consulting, sebuah perusahaan konsultan untuk menampung kegiatan-kegiatan usaha komersial saya dan mendirikan Econit Advisory Group dan konsultan ekonomi bersama kawan-kawan dari ITB, di antaranya Rizal Ramli, Arief Ariman dan Zulkarnaen.

Sejak itu saya menjadi politisi dan bankir tanpa bank. Saya tetap menjadi narasumber bagi wartawan ekonomi dan politik. Pandangan-pandangan saya menjadi semakin menarik bagi para wartawan, karena dianggap mewakili suara yang independen dari pemerintah. Saya menyuarakan pendapat yang mengoreksi pendapat umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saya tidak hanya beroposisi kepada pemerintah, akan tetapi beroposisi terhadap sebuah zaman.

Bersikap Kritis Terhadap Penguasa

PADA waktu itu dapat dikatakan tidak ada anggota DPR, dan hanya segelintir pengamat, yang berani mengambil sikap kritis dan independen terhadap penguasa. Pandangan-pandangan saya tetap kritis dan obyektif, dengan mengemukakan pencapaian pencapaian pemerintah sekaligus memberikan rekomendasi perbaikan. Hal tersebut penting demi keamanan dan proteksi perjuangan yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, saya memberikan kritikan yang tajam, tetapi selalu berdasarkan data dan analisa profesional. Menjadi kolumnis di bidang ekonomi dan keuangan lebih mudah ketimbang di bidang politik. Karena bidang keuangan dan perbankan dianggap tidak langsung menyerang pusat kekuasaan Orde Baru.

Baca Juga  Ketua DPRD DKI, Prasetyo Edy Marsudi, Keluhkan Soal Sumur Resapan di DKI. Ia Menyindir, “Sering-Seringlah Turun ke Lapangan”. Siapa Yang Dimaksud?

Pada waktu itu, sebagai oposisi, saya harus pandai-pandai mengemukakan kritik dan ulasan di media. Namun, saya tetap mengingatkan pemerintah dan kalangan perbankan, betapa bahayanya kondisi perbankan dan ekonomi Indonesia pada waktu itu. Saya selalu mengumandangkan betapa pentingnya bagi perbankan Indonesia untuk menerapkan transparansi dengan membuka informasi kepada umum mengenai mega-kredit yang diberikan oleh bank-bank.

Kalau prosesnya tidak baik dan pemberiannya berdasarkan arahan politis, maka mega-kredit akan menjadi bom waktu pada bank yang bersangkutan. Apalagi pada awal tahun 1995 telah timbul pro dan kontra masalah peraturan kerahasiaan bank. Pada waktu itu seorang direksi Bank Indonesia mengatakan bahwa barang siapa menampung atau menerima informasi bank yang dirahasiakan, akan dianggap sebagai penadah barang curian. Hal itu disebabkan karena pemerintah merasa kecolongan atas bocornya kasus Golden Key di Bapindo.

Saya menggunakan kesempatan tersebut  dengan menulis kolom di majalah Tempo dengan mengatakan bahwa Bapindo jangan merahasiakan penyakit. Dengan demikian memberi pencerahan bahwa yang dirahasiakan adalah sebuah praktek perbankan yang bobrok, bukan informasi mengenai dana milik nasabah yang patut dirahasiakan.

Tapi, perilaku penguasa dan pengusaha kroni pada waktu itu ternyata tidak berubah. Mereka telah menikmati sebuah simbiose mutualistis yang saling memberikan kenikmatan ekonomi (rente ekonomi) yang sangat besar. Penyelenggaraan negara diarahkan kepada upaya melestarikan dan melindungi rente ekonomi para kroni dan penguasa. Saking lamanya praktek KKN tersebut dilestarikan sehingga telah menjadi sebuah zaman KKN.

Dalam beberapa kesempatan baik dialog, wawancara maupun tulisan-tulisan, saya selalu mengingatkan betapa pentingnya untuk menerapkan kebijakan pruden atau kehati-hatian,  agar kita dapat menyelamatkan perbankan Indonesia dari kehancuran. Saya mengusulkan untuk menerapkan sebuah sistim pengontrol otomatis (built-in control) dalam perbankan Indonesia. Yaitu dengan menerapkan ketentuan pembatasan jumlah kepemilikan saham satu orang atau satu grup usaha dalam sebuah bank. Kebijakan ini merupakan cara untuk membentuk adanya iklim yang saling mengontrol antara para pemegang saham disebuah bank. Ibaratnya tidak boleh ada sistem yang mengijinkan terbentuknya pemegang saham otoriter yang tidak terkontrol, seperti dalam kehidupan tata negara di zaman Orde Baru.

Baca Juga  Bus Berkualitas Diharapkan Tingkatkan Minat Masyarakat Gunakan Angkutan Umum

Lebih buruk lagi, ketika kepemilikan bank juga dimiliki oleh lingkaran dalam orang orang dekat penguasa. Maka apa yang terjadi adalah kerancuan antara regulator, pengawas perbankan, pengelola dan pemilik bank yang semuanya berada dalam satu genggaman. Padahal fungsi fungsi tersebut harus dipisahkan.

Contohnya, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Umum Nasional (BUN) yang sebagian kepemilikannya dikuasai oleh orang orang dekat Presiden Soeharto.  Selain itu, Bank Duta juga merupakan bank yang mengelola dana yayasan yang dimiliki oleh Presiden Soeharto serta dana Badan Urusan Logistik Negara (BULOG). Dilihat dari kepemilikan tersebut, maka tidak aneh jika terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan bank yang sehat. Bank Indonesia pun sebagai otoritas pengawas dan pembinaan bank pada waktu itu tidak berani melakukan teguran jika mereka melakukan pelanggaran yang membahayakan.

Sebuah contoh kasat mata mengenai kerancuan antara pengelolaan, pengawasan dan regulator dalam praktek perbankan di Indonesia, adalah kasus  yang menimpa Bank Duta. Bank Duta mengalami kerugian besar akibat spekulasi valuta asing. Bank tersebut diizinkan untuk go-public (menjual saham di pasar modal) dengan menggunakan laporan keuangan yang direkayasa, karena bank tersebut dalam kondisi rugi yang sangat besar.

Baca Juga  Laksamana Sukardi: Produktivitas Orang Indonesia Sangat Rendah

Belajar analogi dari sistem penyelenggaraan negara yang otoriter, maka tidak adanya kekuatan penyeimbang akan menghasilkan sebuah kekuatan yang destruktif terhadap keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara dalam jangka panjang. Apalagi di dunia perbankan yang berlimpah dengan uang, kita harus menerapkan kebijakan diversifikasi kepemilikan saham pada setiap bank agar tidak memungkinkan seseorang pemegang saham berperilaku seenaknya dalam menggunakan dana masyarakat tanpa ada pihak lain yang mengontrol. Karena pengelolaan bank adalah pengelolaan kepercayaan masyarakat yang mempercayai pemilik dan pengelola bank untuk menggunakan dananya secara aman dan bertanggung jawab.

Dalam kesempatan mengulas arah dan nasib industri perbankan tahun 1995, saya ungkapkan bahwa nasib perbankan akan tergantung dari prudential regulation atau peraturan yang penuh dengan rambu-rambu keamanan. Terutama peraturan mengenaii pembatasan kepemilikan saham pada sebuah bank yang boleh dimiliki oleh perorangan atau grup usaha.

“PERBANKAN INDONESIA 1995” Majalah SWA, Januari 1995

“…. kepemilikan saham perorangan/grup perlu dibatasi agar dalam satu bank tidak ada pemegang saham mayoritas yang dominan, sehingga terjadi proses saling mengontrol yang mampu mencegah terjadinya conflict of interest, terutama pada kegiatan pemberian kredit. Karakteristik kepemilikan bank seperti inilah yang merupakan karakteristik utama dari bank-bank asing dengan reputasi tinggi (international prime banks). Jika ketentuan ini diterapkan di Indonesia, maka otomatis perbankan akan beroperasi secara transparan.” Laksamana Sukardi

(Catatan: Setelah perbankan Indonesia mengalami kehancuran, maka ketentuan yang saya usulkan tersebut telah di adopsi menjadi peraturan perbankan Indonesia pada saat ini)*

(BERSAMBUNG: Sumber Permainan Api)

Share :

Baca Juga

Berita

HaloPuan Sosialisasikan Manfaat Kelor untuk Lawan Stunting di Bogor

Berita

Sidang Paripurna ke-7 DPD RI Sepakati 3 Pansus Langsung Bekerja

Esai

Mengusung Gibran, Menelikung Ganjar
Subang

Esai

Kawal Kasus Jalan Cagak Subang, Sejarah Akan Berulang?

Berita

IPW: Basmi Klitih!

Berita

Finlandia Borong 64 Pesawat F-35, Gantikan F-18 Hornet Yang Mulai Uzur.

Berita

Pengamat Nilai KPK Giring Opini dalam Kasus Mardani H. Maming
WAGIMAN DEEP

Berita

Wawancanda Wagiman Deep: “Jangankan Jajal Sirkuit, Pake Sarung Aja Bikin Orang Julid”