DeFacto.id – Rawa Buaya sore itu panas terik! Matahari tak bersahabat! Suasana rimbun kebun bambu sepi, hanya terdengar suara gesekan dahan bambu yang saling rapat terkena angin.

Tak jauh dijalan raya sepasukan tentara KNIL atau Koninklijke Nederlands Indische Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda sedikit demi sedikit mendekati kebun bambu tadi.
Di saat bersamaan di balik rimbunan pohon bambu beberapa pasang mata mengawasi dengan lekat pasukan KNIL yg makin mendekat, itu anak anak KRIS! yang di tugas kan komando pertahanan timur jakarta untuk menghadang laju musuh di wilayah Bekasi.
Saat kaki pasukan knil Belanda baru masuk satu langkah,
“Tembaaak!”
Suara komandan KRIS, Dicky Pontoan memecah sore panas itu! Baku tembak tak terhidar! Beberapa anggota Knil Belanda yg di depan tewas! Yang lain merebahkan diri seraya mencari perlindungan.
Setengah jam awal, anak anak KRIS bisa mengambil inisitif serangan, lalu deru kendaraan lapis baja terdengar
Dicky Pontoan memerintahkan anak anak KRIS mundur, seraya tetap menembak. Saat Dicky berlari dua langkah,
“Bernard!, Mundur! Lekas!”
Bernard Rondonuwu pemuda yg baru berusia 16 tahun ini sempat menoleh ke arah sang Komandan.
Namun saat ia berdiri, kaki kanan nya tersambar peluru, ia jatuh dan masih berusaha menembakan senjatanya.
Dicky Pontoan berusaha menarik tubuh anak muda tanggung ini namun tak lama rentetan peluru mengenai tangan Dicky.
Komadan KRIS ini terjatuh seraya masih melihat ke anak buahnya, namun yg dilihatnya Bernard juga terkena sambaran peluru rentetan tadi tepat di pelipis! Bernard Rondunuwu gugur di tempat.
Dicky meninggalkan jenasah anak buahnya itu dan memerintahkan yg lain mundur.
Walau dengan susah payah, anak anak KRIS tadi berhasil keluar dari kepungan tentara Belanda di Rawa Buaya ke arah Kranji.
5 orang anggota KRIS gugur hari itu sedang beberapa orang terluka termasuk sang Komandan Dicky Pontoan.

Itu Sekelumit kisah bakti anak anak Sulawesi pada Pertiwi.
Era setelah Proklamasi kemerdekaan, suasana revolusi terasa di mana mana. Semua bergolak dan ikut arus ubah zaman yg sangat cepat.
Tapi kondisi pasca proklamasi itu bagi kaum Minahasa terutama yg tinggal di jawa malah membuat serba salah! Stigma “prajurit setia sang Ratu” sudah sangat kental dirasakan para pemuda Minahasa yg tinggal di jawa itu.
Pada akhirnya mereka harus mengambil sikap! Di pihak Republik yang baru seumur jagung atau diam! mengambil jalan tengah.
Sampai akhirnya sebuah perkumpulan orang orang Sulawesi membentuk suatu badan perjuangan untuk bisa menunjukan di mana mereka berpihak, perkumpulan itu di namai KRIS atau Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi.
Salah satu ikrar sumpah anggota KRIS adalah membuktikan cinta dan setia mereka pada Indonesia walau dengan nyawa sekalipun! Agar orang tahu tak semua warga Minahasa itu pro Belanda.
Setelah era perang Kemerdekaan selesai, Laskar ini kelak banyak tergabung di TNI dalam Divisi Sulawesi.
Sumber buku KRIS 45
Berjuang membela negara
Foto: Laskar KRIS tengah berparade *Beny Rusmawan