Home / Berita / Ekonomi / Esai / Historia / Tokoh

Kamis, 3 Februari 2022 - 06:39 WIB

DI BALIK REFORMASI 1998: Mei 1998 Game Over (VI)

Laksamana Sukardi

Laksamana Sukardi

Oleh LAKSAMANA SUKARDI

BULAN Mei 1998, merupakan bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Beberapa kejadian penting dan tragis dicatat sejarah dan tidak bisa dilupakan, yakni terjadinya kerusuhan yang memakan korban sangat besar, terbunuhnya tiga orang mahasiswa Trisakti dan mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden yang telah diemban selama 32 tahun.

Saat itu, saya mulai menilai sudah waktunya untuk mengatakan secara gamblang bahwa ekonomi Indonesia tidak akan pulih jika Presiden Soeharto tidak diganti. Apalagi ditambah dengan mulai terjadinya masalah hutang-hutang swasta yang sangat besar yang membuat perekonomian mati suri (debt overhang), dan resep perbaikan ekonomi IMF yang belum menyentuh rente ekonomi yang dinikmati para kapitalis kroni atau crony capitalism.

Saya melihat kucuran dana bantuan IMF dan kehadiran IMF di Indonesia akan menjadi mubazir karena tidak akan mampu memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia. Ada dua hal utama yang mendasarkan keyakinan saya atas kesimpulan tersebut.

Pertama: IMF masih berkutat pada pendekatan moneter dan makro ekonomi. Sebagai orang luar mereka tidak memahami kondisi perasaan rakyat Indonesia yang telah mengalami tekanan politik serta kekecewaan yang tidak dapat disalurkan. Rakyat telah muak terhadap sistem dan kondisi sosial politik. Jadi, perbaikan di bidang moneter dan makro ekonomi merupakan resep yang tidak tepat dan tidak cocok dengan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.

Kedua: Presiden Soeharto dan para pejabat pemerintah saat itu, sudah tidak dipercaya lagi untuk melaksanakan reformasi ekonomi. Karena mereka telah dianggap sebagai bagian daripada masalah yang ada. Sehingga berapa pun dana bantuan yang dikucurkan tidak akan mampu menciptakan perbaikan.

Belum sampai satu bulan wawancara saya dengan Tempo Interaktif, terakhir adalah tanggal 25 April. Namun karena situasi dianggap gawat, Tempo Interaktif meminta wawancara kembali pada tanggal 13 Mei 1998. Pada saat itu mulai terjadi kerusuhan-kerusuhan di daerah dan demonstrasi mahasiswa di seluruh Indonesia.  Saya menggunakan kesempatan wawancara tersebut untuk mengemukakan pendapat bahwa sudah saatnya Presiden Soeharto diganti dan sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk menerima ambruknya perekonomian Indonesia. 

Selengkapnya saya unduh kembali wawancara saya secara utuh sebagai berikut:

WAWANCARA LAKSAMANA SUKARDI

TEMPO INTERAKTIF 13 MEI 1998

‘EKONOMI INDONESIA BAKAL AMBRUK DALAM TIGA BULAN

Pernyataan itu sungguh gawat, memang. Apalagi tiga bulan bukan soal lama. Ini terjadi jika pemerintah Indonesia tidak segera melakukan reformasi politik. ” Perbaikan ekonomi bisa dilakukan kalau ada pergantian presiden, tanpa itu, keadaan ekonomi akan bertambah parah,” ujar pengamat ekonomi Laksamana Sukardi. Menurut Laksamana, pengganti Presiden Soeharto akan sulit memulihkan kondisi ekonomi, mengingat beban utang yang besar. “Penggantinya saja akan mengalami kesulitan, apalagi Soeharto tidak diganti,” katanya.

Baca Juga  Kisah di Balik Film-film Horor yang Dimainkan Aktor Slamet Rahardjo

Berikut petikan wawancara Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif dengan Laksamana Sukardi, mantan bankir terkenal yang kini aktif sebagai konsultan ekonomi Econit itu, Rabu, 13 Mei 1998.

Apakah ada tanda-tanda ekonomi bakal membaik dengan dicairkannya bantuan tahap dua sebesar satu milyar dollar AS?

Kalau saya lihat, belum ada. Sebab sektor ril makin parah. Misalnya, pengangguran yang terus bertambah. Yang terlihat agak membaik dari indikator moneter, hanya neraca pembayaran. Ini karena memang tidak ada impor sehingga terjadi surplus. Namun, ini tidak ada artinya karena kita memerlukan impor untuk memajukan ekonomi dan membuka lapangan kerja.

Selain itu sektor perbankan dengan suku bunga 58 persen harus membayar bunga deposan di atas 60 persen dan memberi pinzaman di atas 70 persen. Jadi tidak banyak nasabah yang punya kemampuan meminjam di atas 70 persen. Kecuali korupsi, kolusi, dan monopoli. Kalau keadaan ini dibiarkan, maka tidak lama lagi dalam tempo tiga bulan semua bank bakal ambruk.

Kenapa bisa begitu?

Hingga saat ini masih banyak perusahaan yang membayar gaji para karyawannya padahal perusahaannya sudah tidak berproduksi. Dengan kata lain perusahaan memberikan tunjangan sosial kepada karyawannya. Tapi, sampai kapan perusahaan-perusahaan mampu membayar gaji karyawannya. Sementara sudah banyak masyarakat yang hidup dengan cadangan rumah tangga. Seperti tabungan dan barang-barang yang digadaikan. Atau dengan kata lain masyarakat hidup dengan cadangan. Semakin hari kehidupan ekonomi semakin parah. Dan keadaan ini paling lama hanya bisa bertahan hingga tiga bulan.

Bagaimana dengan resep ala IMF?

Konsep IMF yang hanya berkutat pada masalah moneter sudah tidak sesuai lagi. Sebab kebijakan suku bunga tinggi sudah berlawan dengan kondisi yang ada. Akibatnya bakal banyak bank yang bangkrut. Selain itu masyarakat semakin tidak percaya dengan kondisi sekarang.

Pemerintah seharusnya menegosiasikan kembali dengan IMF menyangkut kepentingan rakyat. Yang seharusnya tidak dilakukan, pemerintah melakukannya, seperti pencabutan subsidi. Sedangkan yang berhubungan dengan monopoli, pemerintah bersedia berunding dengan alot. Jelas sekali yang menderita adalah rakyat.

Bukankah bantuan itu dikucurkan karena ketaatan pemerintah mematuhi kesepakatan?

Itu memang benar. Tapi semuanya masih taraf janji-janji. Nah, pada saat implementasi janji tersebut pasti akan timbul ketegangan baru. Sebab masih banyak persyaratan yang tidak bisa dilaksanakan. Misalnya, mengaudit bank pemerintah. Kalau ini dilakukan, maka kita akan tahu isi bank pemerintah apa saja. Ini bisa menstabilkan pemerintah. Nah, yang seperti ini IMF tahu, tidak? Lalu pembentukan lembaga independen untuk memantau BPPN. Di negara ini sudah tidak ada yang independen lagi kalau masih orang pemerintah. Kemudian di sini tidak ada UU konflik kepentingan. Nah, apakah IMF akan tegas mengenai hal-hal yang seperti ini atau diam saja?

Baca Juga  Ketua DPD Dukung Penceramah Berwirausaha

Apa maksud bantuan IMF yang akan diberikan dan dievaluasi tiap bulan?

Orang yang ada di sini saja tidak sanggup mengawasi pemerintah, apalagi IMF. Memang di atas kertas IMF bisa mengawasi, tapi nyatanya praktek kartel kayu lapis masih ada. Lalu BPPC katanya dibubarkan, nyatanya menjelma dalam bentuk lain.

Apa arti penundaan utang selama 30 hari dalam pertemuan Tokyo?

Yang saya baca pembahasan utang tidak mengalami banyak kemajuan. Tapi kreditur pun tidak punya pilihan lain kecuali menunda. Kalau hal ini berlangsung terus, saya yakin kreditur akan menghapuskan sebagian utang. Karena tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan. Tapi kalau ini dilakukan maka dunia internasional tidak akan percaya lagi dengan Indonesia dan akses kepada pasar dunia akan tertutup.

Michele Camdessus bilang pertemuan Frankfurt pada pertengahan Mei nanti bakal mengalami banyak kemajuan?

Kemajuannya mungkin kreditur akan menghapuskan pinzamannya. Buktinya IMF akan memberikan garansi sebanyak delapan milyar dollar AS kepada perbankan. Ini merupakan suatu kemajuan, tapi artinya di-bail-out. Padahal, kita menginginkan pembicaraan yang berwibawa mengenai utang.

Pertemuan kedua di Frankfurt tidak akan mengalami banyak kemajuan, sebab konsepnya saja tidak ada. Tim negosiasi tidak memilikiframe work mengenai utang. Bagaimana akan ada kemajuan. Sebab tidak semua utang bisa dibayar.

Tapi, Prof. Emil Salim bilang, bantuan IMF itu bisa memulihkan kepercayaan.

Betul. Kita juga mengharapkan pada 2 Mei lalu, menjadi titik balik dari krisis, nyatanya rupiahnya malah anjlok. Reputasi IMF pun tidak mampu membantu Indonesia mengatasi krisis dan mengembalikan kepercayaan. Investor asing malah menjual sahamnya pada saat IMF mencairkan dananya. Ini kenyataan yang terjadi.

Apa arti bantuan Malaysia sebanyak 250 juta dollar AS?

Apakah uang 250 juta dollar AS itu banyak. Sebab apinya begitu besar dan untuk memandamkannya tidak cukup satu ember air. Sekarang saja untuk menstabilkan rupiah sudah banyak sekali hedge fund-nya, yang menurut Ibu Miranda (Direktur BI) sudah masuk ke Indonesia. Jumlahnya menurut saya sekitar delapan milyar dollar AS yang ditempatkan di SBI. Orang-orang ini, kalau dollar turun di bawah Rp 7.000, mereka akan tubruk. Dan mereka akan menjual ketika dollar berada di atas Rp 9.000. Jadi kalau tidak ditempatkan di SBI, ya, mereka belikan dollar. Jadi kalau ingin menghantam yang delapan milyar dollar AS, maka harus punya 10 milyar dollar AS. Kalau hanya satu milyar dollar AS dari IMF, ya, tidak ada apa-apanya.

Baca Juga  Ketua PWI Pusat Zulmansyah Sekedang: Menjaga Kebhinekaan Penting Dilakukan Media Massa Jelang Pilkada 2024

Bahkan saya berfikir, dengan utang luar negeri yang banyak, tidak mungkin terjadi recovery. Kalaupun ada pengganti Soeharto, dia akan berat mengatasi masalah ini. Apalagi Soeharto tidak diganti.

Bukankah dengan adanya pergantian presiden akan menimbulkan kepercayaan?

Ya, memang betul bakal menimbulkan kepercayaan. Tapi tetap berat. Dengan menaikkan suku bunga SBI saja, kita sudah mengundang hedge fund untuk masuk ke sini. Giliran ada demonstrasi, meraka akan lari. Sebab kebanyakan dana yang ditempatkan adalah dana-dana spekulatif dan bersifat jangka pendek.

Mengenai kebijakan suku bunga tinggi, apakah ini cukup efektif dalam menarik dana dari luar, seperti yang dikatakan Direktur BI Miranda Goeltom?

Memang dari segi moneter yang digunakan oleh Miranda baik, tapi itu kalau kondisi ekonomi normal. Sekarang sektor riil kita sudah tahu seperti apa kondisinya. Apa artinya tujuh trilyun rupiah yang masuk dibandingkan sektor riil yang sudah parah. Malah dana yang masuk itu sangat berbahaya, karena sewaktu-waktu bisa lari lagi. Kalau Miranda bilang itu suatu kemajuan, dari segi angka, itu memang betul. Tapi dari segi resiko, dana sebanyak itu berjangka pendek dan rentan sekali.

Sampai kapan pemerintah masih mampu dengan kebijakan suku bunga tinggi?

Ongkos yang harus dibayar terlalu besar. Beban itu tidak hanya ada di BI, tapi perbankan nasional. Untuk apa Ibu Miranda bangga kepada investor asing yang masuk, namun kita harus membayar bunga 58 persen. Padahal mereka tidak melakukan apa-apa di sini. Dana yang masuk kebanyakan tidak produktif dan hanya menjadi beban. Karena pemerintah harus membayar bunga dan sewaktu-waktu bisa dibawa lari.

Jadi, kebijakan itu tidak mencerminkan atau mendukung kebijakan penguatan rupiah secara fundamental. Kalau pemerintah masih saja berkutat pada masalah moneter, cara itu sudah tidak efektif. Sebab masalahnya sudah bukan ekonomi lagi melainkan politik. Kebijakan moneter hanya berlaku pada saat kondisi ekonomi normal.

Apakah rupiah bisa menguat hingga Rp 6.000 pada awal 1999 seperti yang dikatakan Menteri Ginandjar?

Saya kira bisa, kalau Soeharto diganti. Mungkin asumsi Pak Ginandjar begitu. Kalau tidak diganti, ya, tetap sulit.*

(BERSAMBUNG: Di Balik Reformasi 1998 VII)

Share :

Baca Juga

Berita

Barongsai Buatan Bogor Diminati Pembeli  dari Arab Saudi

Berita

OKK PWI Jaya Selalu Diikuti Banyak Peserta

Historia

Mengenal Husein Sastranegara, Mantan Kapolsek Yang Gugur Saat Uji Terbang

Berita

Kisah Nyata Nan Memilukan di Balik Karunrung 1995

Berita

Belum Ada Musisi Indonesia yang Dibayar 100 Ribu Dolar

Berita

Muhaimin Iskandar Cethar
Bu Yuni

Berita

Bu Yuli 40 Tahun Tak Pernah Pindah dari SMPN 2 Madiun

Berita

Seragam Hitam Pengawal VVIP, Siapa Yang Pertama Memakainya?