MEGA malapraktek perbankan, pada kenyataannya telah memberikan kenikmatan ekonomi (rente ekonomi) kepada para kroni yang dilindungi oleh kekuasaan yang berwatak KKN. Tak dapat tidak, penguasa pun wajib melestarikan, melindungi dan mengamankannya. Oleh karena itu, informasi harus tetap dirahasiakan, pers dilarang bertanya dan bahkan dibungkam.

Akibatnya, informasi mengenai penyakit kronis perbankan pada waktu itu mampu dirahasiakan. Padahal, semua orang sudah tahu atau sudah menjadi rahasia umum. Kondisi tersebut jika dibiarkan akan menjadi bom waktu yang akan meledak setiap saat dan berpotensi memporak-porandakan ekonomi Indonesia.
Yang paling parah adalah, publik tidak pernah diingatkan tentang adanya bahaya “bom-waktu’ tersebut. Para pejabat pemerintah dan penguasa tidak hanya menutup mata terhadap bahaya tersebut tapi juga terlibat. Maka saya mengambil kesimpulan bahwa mereka pun yakin bahwa semuanya benar-benar aman dan terkendali. Artinya, mereka sudah percaya pada dustanya sendiri. Karena saking seringnya berdusta.

Mereka berdusta bahwa tidak ada penyaluran kredit atas tekanan politik. Mereka berdusta bahwa tidak ada pelanggaran terhadap undang undang perbankan. Mereka berdusta bahwa tidak ada permasalahan dalam perbankan dan perekonomian nasional. Dan mereka percaya pada dustanya sendiri!
Karena saya terus bertahan untuk berpikir secara merdeka, bebas dan tidak mau pikiran saya dikebiri atau di-lobotomi, maka saya berusaha terus memberikan pencerahan dengan menulis. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk membuka mata dan hati masyarakat dan siapapun yang masih memiliki independensi dan kemerdekaan berpikir. Terutama rakyat Indonesia harus diberikan informasi akan bahaya “bom waktu” akibat malapraktek perbankan Indonesia yang dibiarkan meraja-lela.
Berdasarkan masukan-masukan dari perbankan yang saya peroleh, saya mengetahui bahwa banyak sekali mega-kredit yang seharusnya sudah macet dibiarkan oleh Bank Indonesia. Dalam kolom berjudul Megamalapraktek Perbankan yang dimuat majalah Forum Keadilan, 22 Juli 1993, saya kembali mengingatkan otoritas keuangan dan Bank Indonesia bahwa malapraktek pemberian kredit secara besar-besaran kepada segelintir pengusaha kroni akan merongrong wibawa pemerintah dan akan menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan di Indonesia.
Sekali lagi, di pertengahan tahun 1993, saya mengingatkan bahaya rongrongan terhadap stabilitas perekonomian nasional akibat kegiatan malapraktek pemberian kredit pada perbankan nasional. Saya sangat khawatir karena stabilitas perekonomian yang terganggu akan menurunkan standar hidup rakyat Indonesia. Tetapi peringatan-peringatan saya tersebut tidak mendapat perhatian pemerintah. Mungkin saya dianggap anak kecil yang tidak mengerti apa-apa. Berikut ini petikan pemikiran saya yang dimuat Forum Keadilan:
“Megamalapraktek Perbankan,” Forum Keadilan No 7, 22 Juli 1993
“….yang perlu diselidiki adalah malapraktek perbankan yang menimbulkan kredit macet sangat besar dan terkonsentrasi pada sebagian kecil golongan pengusaha.”
“Dampak megakredit macet hasil malapraktek sangat besar dan mengancam stabilitas perekonomian nasional, merongrong wibawa otoritass moneter dan pemerintah, yang akhirnya menghilangkan kepercayaan masyarakat baik dalam maupun luar negeri (rating country risk yang tinggi). Apalagi jika kita tidak mampu menyelesaikan masalah ini.” Laksamana Sukardi
Akhirnya, benarlah kata pepatah yang mengatakan “Sepandai pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga!” Demikian halnya dengan upaya merahasiakan mega-malapraktek perbankan. Sepandai-pandainya menyimpan rahasia, akhirnya ketahuan juga!
Ada satu kasus mega-kredit perbankan pada penghujung tahun 1993 yang mencuat ke permukaan dan mendapat liputan media, yaitu kasus pemberian kredit sebesar US$430 juta oleh Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) kepada Golden Key yang dimiliki oleh Eddy Tansil, seorang pengusaha yang tidak memiliki reputasi dan pengalaman.
Skandal mega-kredit tersebut terkuak karena melibatkan sistem perbankan internasional, yaitu pemberian kredit dalam bentuk fasilitas Letter of Credit yang melibatkan perbankan di Hong Kong. Skandal tersebut menjadi menarik karena penyaluran mega-kredit hanya dilandasi oleh surat rekomendasi (katabelece) dari Laksamana Sudomo yang pada waktu itu menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Menurut kesimpulan saya pada waktu itu, penguasa tidak mampu merahasiakannya dan membiarkan masalah tersebut terbuka karena tidak ada unsur keluarga presiden yang terlibat didalammya. Namun demikian, otoritas keuangan pada waktu itu tetap berusaha untuk menutup-nutupi skandal Golden Key Bapindo dengan alasan kekhawatiran akan berdampak sistemik dan menurunkan kepercayaan investor terhadap investasi di Indonesia.
Saya menggunakan kesempatan tersebut untuk mengingatkan kembali para pejabat, terutama pengambil keputusan di bidang ekonomi, keuangan dan perbankan agar sadar bahwa tugas menjamin kerahasiaan bank yang diamanatkan oleh undang-undang perbankan bukan berarti harus merahasiakan kebobrokan perbankan nasional.
Di samping banyaknya permintaan wartawan untuk mendapatkan komentar saya yang mungkin dianggap independen, saya menganggap ini merupakan kesempatan emas untuk terus meniup terompet peringatan kepada penguasa, agar mereka sadar bahwa kasus Golden Key Bapindo yang muncul ke permukaan harus dimengerti sebagai puncak dari gunung es keboborokan perbankan Indonesia.
Saya manfaatkan momentum ini dengan menulis kolom di beberapa majalah, dengan tujuan yang sama, yaitu memberikan pencerahan kepada rakyat Indonesia agar sadar, berpikir dan bertanya secara merdeka.
Pada awal tahun 1994, saya mengulangi peringatan saya mengenai adanya tanda-tanda ancaman terhadap kesehatan industri perbankan nasional yang akan merusak citra otoritas moneter, jika ancaman tersebut dibiarkan tanpa tindakan-tidakan perbaikan yang tegas. Peringatan tersebuit antara lain di muat majalah Tempo sbb:
“Bapindo: Jangan Rahasiakan Penyakit” Tempo 19 Pebruari 1994
“… para investor lebih membutuhkan banking disclosure daripada banking secrecy, khususnya dalam kasus Golden Key. Dengan kata lain, merahasiakan penyakit bank, atau merahasiakan manipulasi dan korupsi, akan merusak citra otoritas moneter dan menghilangkan kepercayaan terhadap bank.”
“Ketentuan mengenai kerahasiaan bank pada UU Nomor 7 Tahun 1992 perlu ditinjau ulang, perlu ditambah dengan ketentuan menganai banking disclosure. Sebab, banking secrecy dan banking disclosure merupakan kebutuhan nasabah, investor, dan pemegang saham. Undang-undang tentang banking disclosure akan juga berfungsi sebagai tameng para bankir profesional dalam menangkal cengkeraman-cengkeraman oknum di luar perbankan yang tidak bertanggung jawab.”
“Akhirnya, pelajaran yang sangat berharga dari kasus Golden Key ini, menjaga kerahasiaan bank bukanlah berarti harus merahaisakan “penyakit” bank,… “ Laksamana Sukardi
(BERSAMBUNG: Proses Menentukan Kualitas)