Wakil Presiden atau Wapres RI, Ma’ruf Amin melontarkan kritikan pedasnya terhadap para pemain Timnas Indonesia. Menurutnya, skuad Garuda sebenarnya memiliki kualitas di atas rata-rata, tapi sayang fisik mereka cenderung lemah dan tak mampu bersaing dengan lawan.

Melansir hops.id jaringan DepokToday com, hal itu diungkapkan Ma’ruf Amin saat hadir sebagai narasumber di program podcast Close the Door yang tayang di saluran Youtube Deddy Corbuzier.
Ma’ruf Amin menganggap, sepak bola bukan hanya perkara bakat, melainkan juga fisik.
“Pemain bola kita itu mainnya bagus, tapi daya tahan tubuhnya lemah dan larinya kurang (cepat),” katanya dikutip pada Selasa, 4 Januari 2022.
💬”Stamina dan lari (pemain) harus segera dibenahi,” saran Ma’ruf Amin. Dia menjelaskan, apa yang terjadi di negara lain sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.
💬”Nah, itu (pemenuhan gizi pemain) harusnya sudah dimulai dari kecil. Kalau kita kan (konsumsi) karbo mulu dari kecil, kebanyakan karbonya,”.
Kritik Wakil Presiden tersebut langsung mendapat tanggapan yang cukup ramai dari netizen. Dan seperti kebiasaan netizen, yang muncul adalah sikap antikritik, balik mengkritik dan menyampaikan komentar-komentar yang tidak patut.
Dari tanggapan yang muncul, memang terkesan masyarakat pengguna medsos di Indonesia tidak biasa menghadapi kritik. Kritik tidak dijadikan obat, tetapi dianggap sebagai serangan.
Jika kita mau berbesar jiwa, apa yang disampaikan oleh Wapres secara subtantif tidak ada yang salah. Bukankah menghadapi Timnas Thailand pada Piala AFF 2021 yang baru lalu, Timnas Indonesia memang kalah kelas. Secara kua teknik perorangan, anggota timnas Indonesia memiliki skill yang lumayan baik, di babak pertama pada leg kedua berhasil membobol gawang Thailand lebih dulu. Operan-operan cepat pemain muda Indonesia membuat para pemain Thailand kewalahan.
Tetapi di babak kedua, ketika stamina mulai terkuras, mulailah terjadi kesalahan-kesalahan mendasar. Passing yang sering salah, tidak cepat membuka ruang ketika teman mendapat bola, atau gagal mengimbangi kerjasama para pemain Thailand yang lebih akurat dalam melakukan pasing-pasing pendek maupun panjang.
Pemadangan serupa juga terjadi ketika melawan Singapura di semifinal, yang membuat Indonesia nyaris gagal, andaikata Nadeo Argawinata tidak berhasil menggagalkan penalti pemain Singapura.
Ke depan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memperbaiki sepakbola Indonesia. Kompetisi domestik harus dibenahi, sebagaimana disoroti oleh pelatih Timnas Thailand Anthoni Polosik dan bahkan pelatih Timnas Indonesia Shin Tae Yong.
Harus diakui, baik pengusus PSSI maupun pemilik klub lebih mengutamakan mencari nama dan sanjungan ketimbang memprioritaskan hal-hal mendasar dalam pengelolaan kompetisi maupun klub.
Untuk meraih kemashuran dalam sepakbola dilakukanlah jalan pintas, dengan mengimpor pemain asing di klub atau melakukan naturalisasi untuk Timnas. Pengurus PSSI maupun pemilik klub melupakan tanggungjawabnya untuk melakulan pembinaan pemain muda maupun menggelar kompetisi teratur, supaya menumbuhkan bibit-bibit lokal menjadi pemain andalah di klub maupun Timnas.
Akibatnya pelatih Timnas seringkali merasa kesulitan mendapatkan pemain yang sesuai kebutuhan. Rata-rata striker andalan di Liga Indonesia pemain asing, sehingga Indonesia tidak memiliki striker yang benar-benar jadi juru gedor di pertahanan lawan. Sudah lama sekali Indonesia tidak memiliki striker buas seperti Peri Sandria, karena klub tidak di Liga Indonesia lebih percaya pemain asing.
Pencarian bakat-bakat muda (talent scouting) juga penting dilakukan, dengan melibatkan ahli-ahli gizi, maupun tim yang bisa menelusuri latar belakang pemain muda, agar benar-benar diperoleh bibit muda yang bukan hanya berbakat, tetapi memiliki fisik dan daya tahan yang bagus, bukan jenis pemain yang dikritik oleh Wapres Ma’ruf Amin: kurang gizi hingga mudah lelah.
Memang tidak semua pemain kelas dunia menonjol yang lahir dari keluarga berada dan mendapat asupan gizi sempurna di masa pertumbuhannya. Banyak pemain top dunia dari Amerika Latin yang berasal dari keluarga miskin. Begitu pula pemain-pemain yang datang dari Afrika. Tetapi secara anatomi dan pola makannya membuat mereka lebih kuat. Nah untuk menutupi kekurangan itu, pemain sepakbola Indonesia harus memiliki kemampuan fisik yang lebih baik lagi. Untuk itu asupan gizi sejak kecil perlu diperhatikan.
Kita boleh tidak suka dengan cara Wapres mengkritik, karena sebagai orang nomor dua di Indonesia seolah-olah menutup mata dengan realitas ekonomi bangsa, yang membuat faktor pemenuhan gizi anak bangsa menjadi prioritas kesekian bagi masyarakat. Tetapi kita harus berbesar jiwa menghadapinya, demi kebaikan ke depan. Bravo sepakbola Indonesia. (matt bento)