Home / Esai

Sabtu, 2 September 2023 - 00:03 WIB

Menjemput Lumut!

Oktober, dua bulan lagi, tiba saatnya demokrasi transaksional menelusuri penjuru jalan dan gang kecil yang buntu sekalipun. Politik transaksional yang membuat peredaran uang kontan menyebar dari bohir sampai orang termiskin di Indonesia. Manusia menjadi angka. Kaya dan miskin, pintar atau bodoh, sarjana maupun buta aksara, lelaki perempuan, tua muda, yang bebas pun yang terpidana, pemuka agama bersama pengikutnya, angkanya sama: cuma satu! Hanya nilai uang untuk membeli angka itu yang beragam bedanya. Berkelindan dengan ongkos baliho, show music, sembako, leaflet, spanduk, kaos, stiker, bendera dan perabot kampanye lainnya.

Baca Juga  Teh Tarik di Bugis Street

Itulah potret Indonesia lima tahun sekali. Demokrasi transaksional mencolok meskipun melanggar aturan dan Undang-Undang Pemilu. Terus terjadi karena parpol dan politisi sejatinya tidak terlalu paham benar apa yang harus dikomunikasikan demi menggaet satu angka agar terkumpul jutaan. Dan uang menjadi bahasa yang paling umum, yang sangat dikenal siapapun–utamanya rakyat akar rumput dan yang oleh Wiji Thukul disebut lumut penghuni pinggiran got.

Sejatinya, akar rumput dan lumut sudah kenal demokrasi jauh sebelum politikus berkongsi dalam parpol. Sejak zaman pilihan lurah di masa silam, demokrasi sudah menjadi tradisi orang desa. Kompetisi antarcalon, bandar taruhan, kampanye represif dan pola transaksional, telah menjadi darah daging pilkades. Pada dasarnya akar rumput dan lumut paham betul kepada siapa pilihan dijatuhkan. Uang, bujukan, penipuan bahkan ancaman tidak akan bisa membelokkan pilihannya. Akar rumput dan lumut itu punya “hati nurani”. Memiliki insting dan intuisi kenapa absolut memilih Anu dan menampik Ani.

Baca Juga  Tak Ada Lagi Jurnalis yang Merdeka

Oleh karena itu, saya tidak khawatir dengan money-politic. Siapa saja, utamanya akar rumput dan lumut, sungguh memerlukan uang. Akan baik-baik saja jika menerima uang dari mana saja–dan halal haram akan dirunding belakangan. Menjemput akar rumput dan lumut dengan uang, tidaklah sampai sejumput dengan apa yang bahasa politisnya disebut mahar parpol.

Baca Juga  Semok Magazine Gelar Lomba Balap Motor Klasik di Ancol

“Jika politik itu kotor,” kata John F Kennedy, “Puisi akan membersihkannya.” Akar rumput dan lumut punya rumusnya sendiri. Kita semua tahu itu. *

01/09/2023
Harry Tjahjono

Share :

Baca Juga

Esai

PKS Bisa Membuat Cak Imin Menangis  dan AHY Tertawa Lagi?

Esai

Orang Film

Esai

Wani Piro Ingin Membawa Emil Mulyadi ke Indonesia?
IBU KOTA BARU

Esai

Menyimak Identitas Ibu Kota yang Baru dan yang Lama

Berita

Rumah Ganjar

Esai

Oppenheimer, Kiamat Sudah Dekat

Esai

Mengunjungi Bayshore, Stasiun MRT Baru di Singapura

Esai

Musang Bajingan