Home / Tokoh

Sabtu, 13 Januari 2024 - 08:07 WIB

Setelah Dipecat dari ITB, Dia Dipenjara, dan Darahnya Dihalalkan

Arahmaiani adalah seorang perupa / pelukis yang cukup kritis terhadap kondisi sosial politik yang terjadi di dalam negeri. Ia merupakan pelopor dalam perkembangan performance art di Indonesia dan Asia Tenggara.Kelahiran Bandung, 21 Mei 1961 ini kerap menggunakan seni rupa sebagai media kritik terhadap isu sosial, budaya dan agama.

Sikap kritisnya sudah mulai muncul sejak mahasiswa, sehingga ia dikeluarkan dari Jurusan Seni Rupa ITB tahun 1983, kemudian ia dipenjara.

“Waktu itu kan jaman Orde Baru, rezim militeristik. Untung saya tidak dihabiskan, tetapi konsekwensinya saya dikeluarkan dari ITB,” ungkap Arahmaiani, dalam Diskusi Budaya yang berlangsung di Teater Kecil TIM, Jakarta, pada Rabu (10/1/2024) malam.

Baca Juga  Presiden Jokowi Resmikan Monumen yang Dibangun Menhan Prabowo di Lapangan Bela Negara

Setelah keluar dari ITB ia memasuki kehidupan yang nyata, berusaha tetap berkarya, sambil mencari makan. Ini pun, lagi-lagi ia mendapatkan masalah. Ketika mengadakan pameran lukisan di sanggar milik Ray Sahetapy, ia didatangi sekelompok orang yang marah atas lukisan “lingga – yoni” yang dibuatnya.

“Waktu itu mereka bila darah saya halal. Padahal saya Islam juga, bapak saya Kiai.  Saya sih berani menjelaskan kepada mereka, tetapi mereka tetap mengancam, karena saya dianggap menista Islam.  Akhirnya saya harus pergi untuk menyelamatkan diri,” katanya.

Dalam keadaan tak menentu, ia bertemu dengan WS Rendra. Suatu malam, setelah ngobrol panjang, menjelang tidur ia diberikan dua buah buku oleh Rendra. Masing-masing berjudul Kitab Pararaton dan Divine Comedy. WS Rendra dan kedua buku itulah yang membuatnya samakin bersikap kritis.

Baca Juga  Uji Coba Direct Train, Alternatif Moda Nataru 2024/2025

“Buku Pararaton seakan membenarkan sikap Ken Arok yang suka menipu, mengambil isteri orang, bahkan membunuh! Dia kan dianggap sebagai cikal bakal raja-raja Jawa kan?” Arahmaniani mengomentari buku yang dibacanya waktu itu.

Dalam kegalauan Arahmanaiani akhirnya berpikir, apa yang harus diperbuat. Pencariannya terhadap budaya leluhur, membuatnya pergi ke Bali dan ke Tibet. Di negara kecil itulah dia menemukan bahwa budaya yang mereka pelajari di biara-biara, terutama di Biara Gelug Pa atau aliran Topi Kuning.

Baca Juga  DI BALIK REFORMASI 1998: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (III):

“Saya merasa malu ketika tahu yang ada di sana datangnya dari tradisi leluhur kita di sini,” katanya.

Arahmaiani yang sejak beberapa tahun lalu mengajar di Universitas Passel Jerman, mengatakan, banyak orang-orang terdidik di Jerman dan bahkan dari beberapa negara maju lainnya, ingin mempelajari tradisi leluhur kita, yang di sini sendiri mulai diabaikan. Kalau pun digunakan, hanya sekedar basa-basi.

Anak seorang Kiai ini sendiri mulai membentuk komunitas yang konsen pada seni budaya dan kegiatan lainnya, terutama terhadap isu lingkungan di berbagai belahan dunia. (hw)

Share :

Baca Juga

Tokoh

Wajah Komposer Ismail Marzuki Ditampilkan di Google Doodle

Historia

Pablo Escobar, Riwayat Gembong Narkoba Kolombia
AHY

Berita

SBY Kanker Prostat, AHY: We Will Always Pray for You

Berita

Wawancara Laksamana Sukardi: Belenggu Nalar a State Crime
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Proses Menentukan Kualitas
Mayangsari

Esai

INSTAGRACE: Keseharian Cinta Bambang Trihatmojo dan Mayangsari
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Menapak Perjuangan Intelektual
Fahri Hamzah

Berita

Kenapa Fahri Hamzah Semakin Getol Kritik DPR dan Parpol