Home / Esai

Kamis, 9 Januari 2025 - 16:59 WIB

Malam Tahun Baru di Sei Martebing (Sebuah Kenangan)

Apa yang biasa kita lakukan di malam pergantian tahun, atau biasa disebut Malam Tahun Baru? Di kota-kota besar banyak pesta diadakan. Kembang api warna-warni dinyalakan, berbagai jenis mercon dibakar. Di berbagai hotel dan tempat hiburan, kaum berduit rela merogoh kocek lebih dalam untuk menikmati hiburan menarik. Tentu saja ada makanan enak dan minuman mahal. Di banyak rumah juga ada pesta, ada musik, makanan enak dan bahkan minuman memabukkan.

Suasana berbeda terlihat di Desa Sei Martebing, Paya Bagas, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Di perkampungan berpenduduk mayoritas  etnis Batak  Kristen, malam pergantian tahun dilakukan dengan ibadah di dalam rumah setiap keluarga. Setelah pukul 00.00 setelah sebagian besar warga mengikuti ibadah akhir tahun di gereja,  mereka menggelar ibadah keluarga.  Ada 2 gereja di Sei Martebing, yakni Gereja HKBP Pardomuan Nauli Sei Martebing dan Gereja Katolik Stasi Sei Martebing.

Tepat pukul 00.00, lonceng gereja tak henti berbunyi selama 1 jam. Bunyi lonceng gereja seolah mengingatkan kepada warga untuk berdoa, menyanyikan lagu pujian-pujian bagi Sang Pencipta, seraya
melupakan kehidupan duniawi sejenak. Semua anggota keluarga di perkampungan itu berada di rumah masing-masing, untuk mengadakan ibadah keluarga. Ibadah diikuti oleh seluruh anggota inti maupun para perantau yang pulang mudik untuk merayakan Natal dan Tahun Baru di kampung halaman.

Saya berada di rumah keluarga Sibarani saat ibadah berlangsung. Tetapi karena ibadah dilakukan dalam bahasa Batak Toba, saya keluar dari ruang keluarga tempat ibadah dilakukan, lalu duduk di teras. Lagipula saya pikir, ini adalah ibadah keluarga yang eksklusif. Namun demikian saya masih bisa mendengar suara dari dalam dengan jelas, karena hanya dipisahkan oleh pintu berkawat nyamuk.

Baca Juga  Yoshua dan Kisah Runtuhnya Benteng yang Kokoh

Ibadah dipimpin oleh seorang perempuan. Saya tidak ada apa kedudukannya dalam keluarga itu. Tetapi yang saya ketahui di situ ada Ompung (Opung) Doli Jepina Br. Batubara (81 tahun), adiknya Opung Arifin Batubara (75 tahun), Oland Sibarani bersama isteri dan anaknya, lalu ada adik-adik Oland yang datang dari tempat lainnya di Sumatera atau luar Sumatera, dan adik-adiknya yang tinggal di Sei Martebing, maupun yang tinggal dengan Ompung Doli Jepina br Batubara, bersama anak-anak mereka.

Mereka duduk di atas tikar yang digelar di ruang tamu. Hanya Opung Jepina dan Arifin Batubara yang duduk di kursi, mengingat usia keduanya yang sudah lanjut. Apalagi Opung Jepina sehari-hari memakai tongkat. Anak-anak Jepina dan cucu-cucunya duduk berkeliling di atas tikar.

Seperti umumnya ibadah bagi umat Kristen, menyanyikan lagu-lagu rohani dan membaca Alkitab, wajib dilakukan. Semua ikut menyanyi walau tanpa musik. Hanya seorang perempuan yang memegang Alkitab dan membacakan nats-nats Alkitab yang telah dipilih. Semua dalam bahasa Batak Toba.

Usai menyanyikan lagu puji-pujian, membacakan Alkitab dan menaikkan doa-doa,  semua anggota keluarga diberi kesempatan untuk berbicara satu persatu, tanpa kecuali,  anak-anak muda maupun orangtua. Anak-anak muda berbicara lebih dulu.

Saat itu adalah kesempatan bagi anak-anak muda untuk menyampaikan refleksi kehidupan yang telah dijalaninya. Ada  penyesalan atas perilakunya yang menggelisahkan orangtua atau anggota keluarga lain di waktu yang telah berlalu, dan menyampaikan permohonan maaf kepada orang yang dituakan, lalu menyampaikan harapan-harapannya untuk waktu mendatang. Momen seperti ini biasanya diwarnai dengan isak tangis. Di rumah keluarga Sibarani, saya melihat  seorang perempuan berkali-kali mengusap air matanya dengan ujung baju, sambil berbicara.

Setelah itu para orang tua memaparkan pandangan hidup dan nasihat untuk anak-anak, keponakan atau siapa saja yang lebih muda. Ompung (kakek atau nenek) yang tertua dalam keluarga menjadi orang terakhir yang berbicara.

Baca Juga  Ketua IPW Sudah Siap Jika Ditangkap Dirkrimsus Polda Sulsel

Selama ibadah berlangsung di rumah setiap keluarga, Kampung Sei Martebing yang dihuni oleh 300 Kepala Keluarga, terasa sunyi. Tidak ada orang di jalan-jalan.

“Ini benar-benar kampung yang diberkati. Sepertinya semua keluarga mengadakan ibadah,”  kata Sekretaris DK PWI Jawa Barat, M. Syafrin Zaini, yang datang ke Sei Martebing bersama saya atas undangan Ketua DK PWI Jabar, Oland Ph Sibarani Sebelumnya kami juga diajak ziarah ke makam leluhurnya di Kampung Sibarani, Sitangkola, Laguboti, Kabupaten Toba.

“Ketika aku jalan pulang, suasana benar-benar sunyi. Bahkan suara anjing pun tidak terdengar. Cuma suara lonceng gereja yang terus berbunyi. Aku sampai kelewat,” kata Syafrin. 

Awalnya kami bersama berada di rumah keluarga, tetapi dia  kembali ke rumah yang disediakan untuk kami menginap, dengan berjalan kaki,  untuk mandi dan shalat. Sementara saya tetap bertahan di teras rumah keluarga Sibarani, pada saat ibadah keluarga berlangsung, walau pun harus berjuang melawan nyamuk kebun kelapa sawit yang ganas.

Di atas pukul 02.00, ibadah di rumah-rumah berakhir. Mulailah terdengar lagu-lagu pop yang dinyanyikan oleh anak-anak muda dan orang dewasa yang suka bernyanyi. Itu pun tidak banyak. Anjing-anjing mulai menyalak, mendengar suara mercon dan kembang api yang dinyalakan oleh beberapa ABG. Tidak terlalu heboh juga.

“Kalau tahun lalu atau tahun-tahun sebelumnya, di depan semua rumah warga pasti sangat ramai. Ada yang menyanyi, membakar sate atau minum bir. Tapi tahun ini memang tidak seramai dulu. Mungkin ekonomi sedang sulit,” kata Jeffry Sibuea, seorang petani yang saya temui saat mengikuti Ibadah Tahun Baru di HKBP Sei Martebing, pada Rabu (1/1/2025) pukul 10.00 WIB.

Baca Juga  Menparekraf Buka "Festival Gunung Slamet 2024" di Purbalingga Jateng

Sei Martebing adalah sebuah kampung yang dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit telah menggantikan perkebunan karet milik kolonial Belanda. Masyarakat yang tinggal di sana awalnya datang dari Porsea, Laguboti, Balige atau dari Kabupaten Tapanuli Utara pada umumnya, yang kemudian dipecah, di antaranya menjadi Kabupaten Toba – Samosir (Tobasa) dan kini menjadi Kabupaten Toba.

Mereka datang ke Sei Martebing untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dibandingkan hidup di tanah leluhur mereka.

“Orang-orang tua kami dulu datang ke sini tahun limapuluhan, ketika tempat ini masih berupa rawa-rawa. Tanah ini awalnya diperuntukkan bagi pekerja perkebunan, tetapi mereka jual kepada para pendatang, orang-orangtua kami, karena mereka lebih suka tinggal berkelompok dalam perkebunan,” tutur Arifin Hutabarat.

Arifin kini menjadi lelaki tertua di Sei Martebing. Dia sendiri merantau ke Jakarta dan menjadi wartawan. Anak-anaknya tinggal di Jakarta. Ada yang menjadi pengacara. Tetapi ia ingin menghabiskan masa tuanya di tanah tempat ia dilahirkan. Isterinya telah meninggal dunia. Dan tulang-belulangnya sudah dibawa dan dimakamkan di Sei Martebing.

Para perantau dari Sei Martebing banyak yang sukses. Arifin Batubara menyebutkan, ada yang jadi Jenderal Polisi; ada yang menjadi anggota TNI, Jaksa, Pengacara, Pengusaha, Guru, karyawan di PT. Freeport, dan lain-lain. Tidak heran jika para saat Nataru, banyak mobil berplat luar daerah, parkir di halaman rumah warga di Sei Martebing.

Perantau mendapat tempat yang terhormat di Sei Martebing. Setiap ibadah Tahun Baru, ada perwakilan perantau yang diberi kesempatan memberikan sambutan / testimoni di depan jemaat gereja. (Herman Wijaya)

Share :

Baca Juga

HUKUMAN MATI

Berita

Jaksa Agung Tuntut Hukuman Mati untuk Koruptor

Berita

Presiden Bertanggungjawab
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Indikator Kematian
Wagiman Deep

Esai

Wawancanda Wagiman Deep: “Istri Ngomelin Suami Bikin Trauma Seumur Hidup”
Mayangsari

Esai

INSTAGRACE: Keseharian Cinta Bambang Trihatmojo dan Mayangsari
IBU KOTA BARU

Esai

Menyimak Identitas Ibu Kota yang Baru dan yang Lama

Esai

Ketika “Citayam Fashion Week” Bukan Lagi Milik Anak Citayam!
Bung Karno

Berita

Bung Karno dan Panci Peleburan Kaum Separatis