Home / Berita / Historia

Senin, 3 Januari 2022 - 08:17 WIB

DI BALIK REFORMASI 1998: Resep Menuju Kehancuran

Laksamana Sukardi

Laksamana Sukardi

Oleh LAKSAMANA SUKARDI

PADA saat itulah saya mulai melihat tanda tanda kehadiran sebuah kekuatan yang memiliki daya destruktif yang sangat besar terhadap dunia perbankan dan perekonomian Indonesia. Kekuatan ini bertambah besar ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan liberasi perbankan di bulan Oktober tahun 1988, yang dikenal dengan kebijakan Pakto 88.

Kran izin pendirian bank baru, dibuka oleh pemerintah dengan persyaratan yang sangat ringan. Padahal, izin pendirian  bank telah distop sejak tahun 1971. Dengan modal hanya Rp10 milyar, para pengusaha bisa membuka bank. Sayangnya kemudahan tersebut tidak diikuti dengan program supervisi yang ketat dan ketentuan pengelolaan bank yang berhati-hati. Baru di tahun 1992 dikeluarkan Undang Undang Perbankan yang memuat ketentuan pengelolaan bank secara berhati-hati. Inipun setelah banyak bank mengalami masalah yang serius.

Dikeluarkannya kebijakan Pakto 88, telah menambah daya destruktif sistem perbankan dan dunia usaha Indonesia. Para pengusaha tidak perlu berkolusi lagi dengan para pejabat bank pemerintah, karena mereka telah memiliki bank sendiri. Mereka diijinkan untuk memiliki bank sendiri dengan persyaratan yang sangat mudah. Artinya, para pengusaha diberi izin  untuk menarik dana langsung dari masyarakat untuk kepentingan mereka—dan bukan untuk disalurkan dengan penuh kehati-hatian deemi kepentingan pembangunan ekonomi.

Masih segar dalam ingatan saya, pada saat itu hampir setiap minggu saya mendapat undangan peresmian pembukaan bank baru yang hampir sebagian besar dimiliki oleh para pengusaha yang tidak memiliki pengalaman dan kredibilitas dalam mengelola kepercayaan masyarakat. Kenyataannya para pemilik bank baru yang sebagian besar merupakan para kroni orde baru, yang telah terbiasa menjadi benalu ekonomi, lebih banyak menyalurkan dana masyarakat pada bank mereka dalam bentuk kredit atau pinjaman kepada dirinya sendiri.

Liberalisasi kepemilikan bank tanpa proses yang selektif, merupakan kebijakan yang fatal. Sebagian besar pengusaha yang memiliki reputasi dan kredibilitas rendah, diperkenankan membuka bank baru dengan jumlah modal yang sangat kecil dan tanpa pengalaman di bidang pengelolaaan bank. Apalagi dalam sistem perbankan kita yang tidak mengenal tata-kelola yang baik, banyak tekanan politik, tidak ada transparansi dan tidak ada kepastian hukum.

Baca Juga  Lilin Natal Bagi Pahlawan

Menurut saya, kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang super-duper liberal! Pada waktu itu pemerintah berdalih untuk menciptakan kompetisi, karena kompetisi akan menghasilkan kualitas. Secara teoritis memang benar. Tapi, teori tersebut tidak berlaku pada kondisi Indonesia yang masih membudidayakan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN). Dengan demikian, hemat saya, perbankan harus tetap diseleksi dengan pemberian ijin yang ketat. Syarat-syarat pengalaman dan permodalan harus tinggi. Tidak diobral seperti dalam paket deregulasi Oktober 1988.

Saya mempertanyakan kapasitas para menteri dibidang ekonomi yang pada saat itu dikenal sebagai teknokrat atau mafia Berkeley. Mereka adalah orang-orang pandai lulusan universitas terkemuka di Amerika. Saya memaklumi azas ekonomi pasar yang mereka yakini, terutama kepercayaan tentang perlu adanya kompetisi dalam perekonomian. Tetapi dengan membebaskan izin pendirian bank baru kepada para pelaku ekonomi, penguasa dan pengusaha, yang sudah terbiasa dengan praktek praktek kolusi dan korupsi, menurut hemat saya merupakan sebuah konspirasi untuk menjerumuskan ekonomi Indonesia, karena kebijakan Pakto 88 tersebut merupakan sebuah resep menuju kehancuran.

Ironisnya, Pakto 88 adalah merupakan hasil studi sebuah lembaga konsultan ternama di Amerika. Secara teoritis dan text book mereka benar. Tapi, mereka tidak memahami bahwa jika kebijakan tersebut diterapkan dalam suatu negara dengan budaya KKN, maka kebijakan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah resep menuju kehancuran, atau “recipe for disaster.” Celakanya, para petinggi otoritas kebijakan ekonomi Indonesia menerapkan usulan tersebut tanpa reservasi. Mungkin juga mereka merupakan bagian dari sebuah konspirasi untuk menghancurkan ekonomi Indonesia. Walahualam.

Pada zaman itu, semua orang pun tahu bahwa, Indonesia memerlukan deregulasi yang bisa menciptakan kompetisi di sektor riel, perdagangan dan manufaktur yang pada saat itu dimonopoli oleh para kroni Orde Baru. Indonesia memerlukan mesin kebijakan yang mampu mendobrak tembok KKN dan monopoli di segala bidang ekonomi yang penting.

Baca Juga  Striker Barcelona Sergio ‘Kun’ Aguero Gantung Sepatu Lebih Awal, Ini penyebabnya

Alih-alih menghilangkan praktek monopoli para kroni dengan menciptakan kompetisi, apa yang terjadi lebih parah lagi. Mereka diberi kebebasan untuk membuka bank baru dan langsung menyerap dana masyarakat untuk mendukung usaha (monopoli) mereka. Kebijakan ini terlalu liberal, bahkan jauh lebih liberal dari Amerika yang masih menerapkan kebijakan sangat ketat untuk ijin pendirian bank baru.

Sekali lagi, saya menganggap bahwa para menteri ekonomi Indonesia pada saat itu mendapat tekanan, baik dari dalam (para kroni) maupun dari luar negri. Karena kebijakan Pakto 88 ternyata merupakan rekomendasi Bank Dunia berdasarkan hasil studi lembaga konsultan Harvard Institute for International Development.

Secara teori PAKTO 88 dapat dianggap benar dan cocok jika diterapkan dalam sebuah kondisi negara yang normal, yaitu negara dengan tingkat transparansi tinggi dan tidak ada budaya KKN.  Akan tetapi menjadi bencana ketika diterapkan pada sistim ekonomi yang korup, kolutif dan tidak transparan.

Perbankan Indonesia paska Pakto 88 mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Peningkatan jumlah dana masyarakat ke dalam sistim perbankan telah tercapai dengan sukses, tetapi penyaluran kredit mengalami mala petaka besar. Pasalnya, deregulasi tidak diimbangi dengan kehati-hatian dalam pengelolaan dan penyaluran kredit bank.

Saya memiliki rasa hormat yang tinggi kepada para teknokrat, para panglima kebijakan ekonomi orde baru yang memiliki reputasi akademis dan pengalaman dalam menciptakan kebijakan-kebijakan ekonomi. Namun demikian, kebijakan yang diambil selalu fokus kepada kebijakan makro ekonomi dan moneter. Mereka jarang mengambil keputusan yang memperbaiki distorsi disektor riel, seperti monopoli perdagangan dan pemberian fasilitas-fasilitas subsidi secara khusus kepada pelaku ekonomi yang pada umumnya adalah para pengusaha kroni Orde Baru.

Karena para pejabat teknokrat di bidang ekonomi tidak memiliki keberanian untuk menyentuh hal-hal yang sangat sensitif secara politis, akhirnya kebijakan yang diambil para teknokrat pada umumnya adalah kebijakan “pemadam kebakaran”. Yaitu kebijakan yang merupakan upaya perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh rejim KKN, yang menghasilkan distorsi ekonomi yang fundamental.

Baca Juga  Dunia Musik Indonesia Masih Memiliki Harapan

Di samping itu, kebijakan-kebijakan deregulasi ekonomi pada umumnya dikeluarkan untuk merespons gejolak ekonomi global, seperti kenaikan harga minyak atau masalah lain di luar negri yang berdampak kepada ekonomi Indonesia.

Kepada teman-teman yang bertanya, bagaimana kondisi ekonomi Indonesia, saya selalu memberikan analogi dunia kedokteran. Yaitu ekonomi Indonesia, ibaratnya adalah tubuh manusia yang sedang mengidap penyakit kanker, tetapi dokter tidak pernah melakukan tindakan untuk mematikan sel kanker tersebut. Dokter hanya  memberi pengobatan jika tubuh tersebut mengalami kenaikan temperatur. Yaitu,  jika tubuhnya panas, maka dikasih obat penurun panas, seperti Panadol. Padahal, yang menyebabkan suhu badan panas adalah sel sel kanker yang mengakibatkan infeksi di bagian dalam.

Secara analogi, kanker yang ada dalam tubuh adalah semua bentuk distorsi ekonomi seperti fasilitas fasilitas monopoli yang hanya diberikan kepada group pengusaha KKN. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi hanya proaktif dengan mengeluarkan deregulasi ketika ekonomi kita mendapat masalah. Indonesia hanya mengobati penyakit berdasarkan “symptom”, bukan membasmi sumber penyakitnya.

Itulah sebuah zaman yang sudah menjadi sejarah, tetapi masih menyisakan rasa sakit dan penderitaan bangsa Indonesia. Sebuah zaman di mana kita lupa diri, atau sengaja melupakan diri kita akan bahaya dan tindakan yang tidak terpuji. Seluruh elemen bangsa mendukung dan melestarikan praktek KKN sebagai sebuah kewajaran dan ideologi berbangsa dan bernegara. Bagi mereka yang beroposisi terhadap ideologi tersebut dianggap sebagai dissident atau pembangkang.

Saya tidak termasuk sebagai pembangkang, akan tetapi nurani saya merasa resah dan benak pikiran saya terganggu bermacam pertanyaan. Paling tidak, pertanyaan bagaimana nasib masa depan saya sendiri sebagai seorang pemuda.  Saya mulai mengerti kenapa Bung Karno mengatakan bahwa, “Tugas kalian dalam mengisi kemerdekaan akan lebih sulit  dari pada tugas kami melawan penjajah. Karena lawan kalian adalah bangsa Indonesia sendiri.”* (Bersambung: Tergerus Proses Lobotomi)

Share :

Baca Juga

Berita

Ganjar Pranowo Tetap Unggul Dalam Survey

Berita

Serahkan Pengelolaan JIS Kepada Persija
Pagaralam

Berita

Bersaing dalam Kreasi, Pariwisata Pagaralam Naik Daun
Ana de Armas

Berita

Ana de Armas Menggantikan Scarlett Johansson di Film Ghosted

Berita

PN Jakpus Tolak Gugatan Fadel Muhammad Terhadap SK DPD RI
Berbagi modal

Berita

Berbagi Modal untuk Sesama Pedagang Cilik di Madiun

Berita

Presiden Bertanggungjawab

Berita

Film Jadi Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Tumbuh Positif pada Tahun 2033