deFACTO – Pernikahan pasangan berbeda agama masih menghadapi kendala di Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia yang relijius maaih berpegang pada ketentuan agama untuk melangsungkan pernikahan.
Selain itu UU Perkawinan juga menyebutkan pernikahan Undang-undang di Indonesia tidak mengatur pernikahan beda agama secara spesifik.
Kebuntuan itu lalu diterobos oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), lembaga yang bergerak dalam membangun kerukunan dan silaturahmi lintas iman.
Pernikahan adalah hak internum, yang tidak boleh diintervensi dan dikurangi. Setiap orang bebas memilih pasangan hidupnya dan memiliki keturunan. Hambatan utama biasanya dari keluarga. Orangtua selalu menganggap pernikahan beda agama itu dilarang oleh agama,” kata Wakil Direktur ICRP Ahmad Nurcholish kepada deFACTO, ketika ditemui di rumahnya, Selasa (17/11/2021) malam.
Menurut lelaki kelahiran Grobogan, Jawa Tengah ini, berdasarkan riset yang dilakukan lembaganya, selalu ada dua pandangan mengenai pernikahan beda agama itu. Ada yang melarang, ada yang membolehkan. Termasuk dalam Islam.
“Dalam Islam itu ada tiga pandangan. Yang pertama melarang berdasarkan Al Baqarah 221 dan Al Muntahanaj ayat 10. Di situ ada larangan menikah dengan orang kafir. Dari situlah kemudian muncul pandangan kedua yang membolehkan yang mengacu pada Al Maidah ayat 5,” katanya.
Di Al Maidah ayat 5 itu mengatakan lelaki muslim boleh menikah dengan perempuan ahli kitab. Non muslim itu sebagai ahli kitab yang bukan saja boleh menerima makanan, tetapi juga boleh dinikahi.
Lalu muncul pandangan ketiga yang mengatakan perempuan muslim boleh dinikahi oleh non muslim. Pandangan ini juga mengacu pada Al Maidah ayat 5. Itu diperkuat dengan tiga argumen. Pertama prinsip hukum dalam Islam tidak diskriminatif. Artinya kalau boleh buat laki-laki, boleh juga buat perempuan.
Lalu yang kedua ada hukum al ashlu ali baha. Semua boleh dilakukan sepanjang tidak ada yang melarang.
“Nah dari 6666 ayat itu, tidak ada larangan muslimah menikah dengan lelaki non muslim. Nah tidak adanya larangan itu dianggap pembolehan,” kata Dosen Universitas Prasetya Mulya ini.
Dijelaskan, dalam UU no.16 tahun 2019 tentang perkawinan, tidak ada larangan menikah dengan pasangan berbeda agama. Yang ada itu pasangan boleh menikah kalau dilakukan dengan agamanya masing-masing.
Nah itu yang diterjemahkan oleh mereka yang menikah dengan agama berbeda. Misalnya Islam dan Kristen, ada ijab kabul dan ada pemberkatan.
Lalu di ayat berikutnya mengatakan domain negara adalah mencatat pernikahan yang sudab disahkan oleh agamawan. Nah inilah yang tidak dilakukan oleh ASN.
ICRP melakukan pendekatan mulai dari kelurahan untuk memperjuangkan hak pernikahan beda agama, termasuk judicial review ke MK, tapi oleh MK dikembalikan kepada lembaga-lembaga agama yang menangani masalah ini.
ICRP membuka konseling, konsultasi dan advokasi sejak.November 2004. April 2005 sudah ada yang menikah pertama kali. Sampai sekarang sudah 1.360an pasangan. Bahkan ada orang asing yang minta dinikahkan secara agama, 2 dari Singapura dan 1 dari Australia.
“Secara agama tidak ada masalah, tapi mereka juga ingin dinikahkan secara agama, karena di sana sulit menemukan penghulu atau ustasz.”
Diakui Nurcholish, dalam menjalankan missi ini pada awalnya ada tentangan dari kelompok-kelompok agama, tetapi itu lebih ditujukan kepada pribadinya. Itu pun bukan karena pernikahan beda agama, tetapi karena ICRP dianggap membela Syiah dan Ahmadiyah. hw