Home / Berita / Esai / Historia / Tokoh

Selasa, 18 Januari 2022 - 15:15 WIB

DI BALIK REFORMASI 1998: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (I)

Laksamana Sukardi

Laksamana Sukardi

SAYA menyadari bahwa ternyata saya telah hidup di sebuah zaman yang serba salah, di mana PANCASALAH hadir dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berawal dari upaya saya untuk mencari jawaban terhadap sebuah pertanyaan, akhirnya saya mampu melihat kejadian dan potensi masalah yang akan timbul dari sebuah zaman yang membudidayakan KKN. Sebuah zaman yang saya harapkan memberikan masa depan yang baik bagi saya sebagai seorang pemuda.

Saya mendapat tantangan untuk memasuki kehidupan pada zaman tersebut, dengan pilihan antara turut menikmatinya atau berjuang untuk mengubah. Tidak ada pilihan yang baik bagi saya. Nalar saya mengatakan bahwa saya tidak boleh turut menikmati dan berpesta-pora dalam rejim KKN, karena pesta tersebut akan berakhir dengan pahit dan membuat bangsa Indonesia menjadi sengsara. Nalar saya juga mengatakan bahwa saya harus menanggalkan semua fasilitas, gaji besar dan lain-lain untuk mencoba mengubah zaman.

Namun demikian, saya tidak memiliki kekuatan untuk mengubah zaman yang didukung oleh kekuatan uang dan kekuatan politik yang sangat besar. Saya hanya bisa mempertahankan marwah diri saya, agar saya tidak menjadi korban lobotomi atau pengebirian intelektual yang membuat bangsa kita tidak mampu berpikir dan bertanya secara merdeka.

Baca Juga  Perekam Selegram Sisca Mellyana di Ubud Dikenai Sanki Adat

Kemampuan saya bertanya sebagai orang merdeka telah membuat saya melihat permasalahan-permasalahan besar yang menciptakan sebuah bom waktu pada perekonomian Indonesia. Bom waktu tersebut suatu waktu akan meledak dan memporak-porandakan zaman tersebut beserta seluruh pelaku zaman dan pendukungnya.

Memasuki tahun 1997, saya melihat dan merasakan detak bom waktu dengan “sumbu api”  yang semakin pendek dan tidak lama lagi akan meledak. Pertanyaaan saya menerawang zaman, mulai terjawab secara bertahap.

Berikut ini adalah tahapan detak detik sumbu bom waktu yang sekaligus memberikan jawaban atas pertanyaan saya:

Juli 1997, Pemerintah Masih Percaya Diri

BULAN Juli tahun 1997, ketika krisis ekonomi negara negara Asean mengalami masalah yang dimulai dari didevaluasinya mata uang Thai Baht dan Peso Philipina, para pejabat ekonomi Indonesia menganggap krisis tersebut tidak akan dialami Indonesia, karena SALAH LIHAT bahwa Indonesia memiliki indikator ekonomi kuantitatif yang kuat.

Para pejabat Indonesia pun merespon krisis ekonomi di Thailand dengan enteng. Mereka membuat statement yang pada umumnya menganggap kondisi perekonomian Indonesia sangat kuat dan tidak akan mengalami hal yang serupa dengan Thailand.

Baca Juga  Terkenal dan Berduit, Syarat Jadi Ketua PARFI Daerah! (Bagian II)

Mereka tidak mau menerima kenyataan seperti yang telah saya uraikan bahwa sektor keuangan di Indonesia sudah tidak mempercayai pemerintah. Masyarakat lebih percaya kepada desas-desus negatif bahwa rupiah juga akan terdevaluasi. Maka terjadilah kepanikan, mereka memburu mata uang dollar secara besar-besaran. Terjadi arus modal keluar negri yang cukup besar dan mengkhawatirkan.

Para pejabat ekonomi Indonesia telah mengabaikan persepsi yang telah terbentuk dikalangan komunitas investasi dan masyarakat. Para pejabat tidak menyadari betapa pentingnya persepsi tersebut dan mengabaikannya. Mereka tidak sadar bahwa masyarakat akan bertindak sesuai dengan persepsi yang telah terbentuk (perception drives the peoples’ behavior). Masyarakat tidak lagi percaya terhadap pernyataan-pernyataan pejabat karena kepercayaan pemerintah telah terlikuidasi. Dengan demikian, persepsi masyarakat bahwa akan terjadi devaluasi, lebih berbahaya daripada devaluasi itu sendiri.

Agustus 1997, Perbankan Mengalami Goncangan Likuiditas

SEKALI lagi, para teknokrat Indonesia bereaksi dengan piawai, yaitu melakukan pengetatan uang beredar dengan menaikkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 12% menjadi 30%.

Baca Juga  Max Sopacua Pejuang KLB Partai Demokrat Telah Tiada

Perbankan mengalami goncangan likuiditas, banyak yang harus menutupi kekalahan kliring dengan melakukan pinjaman antar bank. Akibatnya, suku bunga pinjaman antar bank berdurasi pendek mengalami peningkatan luar biasa, yaitu menjadi 81%.

(Catatan: kalah kliring artinya lebih banyak nasabah yang menarik dana dari pada yang mendepositokan dananya pada sebuah bank dalam satu hari yang sama)

Dipengaruhi oleh perkembangan politik, yaitu adanya perlawanan terhadap kekuatan Orde Baru oleh Megawati yang semakin mendapat dukungan rakyat, membuat jurus kebijakan moneter sudah tidak mempan.  Nilai tukar rupiah semakin turun. Perusahaan-perusahaan yang pada umumnya banyak meminjam uang dalam mata uang dollar, turut memperburuk situasi dengan berlomba-lomba memburu dollar untuk mengamankan pembayaran cicilan pinjaman mereka. (Baca: Politikus Kasta Paling Rendah)

Apa yang terjadi adalah kombinasi peningkatan tingkat suku bunga dan penurunan nilai tukar rupiah secara bersamaan! Bank Indonesia mulai memberikan dukungan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami masalah.

{BERSAMBUNG: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (II)}

Share :

Baca Juga

Berita

Rochy Putiray Latih Tim Sepakbola Wartawan DKI Jakarta
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Parasit Ekonomi Indonesia

Berita

IPW : Polda Riau Bukan Polisi Syariah, Tak Patut Gerebek Pasangan Tanpa Nikah di Hotel

Berita

Valentino Rossi Pensiun, “Terima Kasih, Vale”
Apollo Quiboloy

Berita

Sekutu Presiden Duterte, Pastor Quiboloy Tersangka Perdagangan Seks Perempuan di Bawah Umur!
deFACTO.id -- dalam rentang waktu lima tahun belakangan ini Kota Pagaralam mulai dikenal dunia sebagai salah satu sentra penghasil kopi terbaik. Padahal, kopi - atau kawe - masyarakat setempat menyebutnya - sudah ditanam sekurangnya sejak tahun 1918. Hal itu dimungkinkan karena terbukanya arus informasi berbasis IT serta mulai tergeraknya hati generasi muda petani kopi Pagaralam untuk memproses dan membranding hasil kopi mereka - dari sebelumnya yang hanya menjual mentahan. Berpuluh-puluh tahun lamanya kopi robusta dari Pagaralam dijual mentahan, diangkut dengan truk, dijual ke luar - dan dikapalkan pelalui pelabuhan Panjang (Lampung). Itulah barangkali sebabnya mengapa kopi Pagaralam (plus Lahat, Empatlawang dan sekitar gugusan Bukit Barisan) selama ini dikenal dengan julukan Kopi Lampung. Tak puas dengan stigma ini, anak-anak muda Pagaralam tergerak melakukan banyak terobosan, mulai dari memperbaiki sistem penanaman, panen, pascapanen, hingga branding. Tak puas dengan itu, mereka pun melengkapi "perjuangan" mereka dengan membuka kedai-kedai kopi, dilengkapi dengan peralatan semicanggih, - meski secara ekonomis usaha mereka belum menguntungkan. Di antara para "pejuang kopi" Itu bisa disebut misalnya Miladi Susanto (brand Kawah Dempo), Frans Wicaksono (Absolut Coffee), Sasi Radial (Jagad Besemah), Azhari (Sipahitlidah Coffee), Dian Ardiansyah (DNA Coffee), Wenny Bastian (Putra Abadi), Efriansyah (Rempasai Coffee), Dendy Dendek (Kopi Baghi), Hamsyah Tsakti (Kopi Kuali), Iwan Riduan (Waroeng Peko) dan banyak lagi. Dalam banyak lomba dan festival, lingkup nasional maupun internasional, kopi Pagaralam banyak dipuji dan diunggulkan - baik secara kualitas maupun orang-orang (petani & barista) yang ada di belakangnya* HSZ

Berita

Pagaralam Punya Kopi, Lampung Punya Nama
Kartun

Esai

Lebih Baik ke Penjara

Berita

Budi Susilo Bangkit Jadi Pengusaha Sukses Setelah Orangtuanya Dibangkrutkan di Awal Reformasi