Oleh LAKSAMANA SUKARDI

SEBAGAI top eksekutif Citibank, saya memiliki fasilitas keanggotaan di lapangan golf exclusif yang sangat mahal dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Apalagi bagi anak wartawan Kantor Berita Antara yang hidupnya pas-pasan. Tentu saja saya mendambakan untuk dapat mencapai prestasi seperti itu, akan tetapi tidak pernah terbayang dalam benak saya bahwa saya mencapainya dalam waktu singkat dan usia yang masih muda, 33 tahun, dan orang tua saya hanya seorang wartawan!
Bermain golf, bagi banyak orang adalah hobi dan hiburan para elite. Tapi, bagi saya merupakan sebuah tugas yang harus saya jalankan untuk bisa bertemu dengan para pimpinan perusahaan besar dan para pengambil keputusan. Bagi kalangan senior bankir dan eksekutif, golf memang merupakan sarana dan wadah untuk bertemu dan menjaring nasabah penting.

Di lapangan golf, pada umumnya saya berinteraksi dan bergaul dengan orang-orang yang berumur jauh di atas saya. Masih terekam dalam ingatan saya, pada suatu hari Minggu pagi, ketika bermain di Pondok Indah Golf, saya bertemu dengan serombongan bankir senior yang sedang menunggu giliran untuk tee-off (memulai permainan dengan melakukan pukulan pertama). Lalu ada seorang pejabat dari Bank Indonesia yang bertanya, “Dik, sedang liburan sekolah ya?” Saya tidak menjawab, hanya tersenyum.
Harapan dan kenyataan yang saya alami dari kegiatan di lapangan golf ternyata sangat berbeda. Harapan untuk bertemu, bersosialisasi dan mendapatkan bisnis transaksi perbankan, ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Ada suatu hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya akan terjadi dilapangan golf. Apa yang saya saksikan dan alami di lapangan golf membuat saya terkejut, muak dan resah.
Betapa tidak? Saya melihat dengan mata kepala sendiri, di lapangan golf, para pejabat tinggi bank-bank BUMN diperlakukan sebagai bangsawan bahkan layaknya raja. Direksi bank-bank BUMN dan para pejabat pemerintah selalu dikerumuni dan dilayani layaknya seorang raja atau sinterklas oleh para pengusaha konglomerat yang mendambakan hadiah kredit lunak atau berbagai kemudahan usaha.
Di beberapa kesempatan, saya mendapati seorang boss besar pemilik group konglomerat raksasa melayani seorang jenderal bermain golf. Si boss besar bahkan tidak sungkan untuk membawakan sepatu golf sang jenderal! Di hari lain, ketika melihat seorang pengusaha terkenal membawakan sepatu golf seorang jenderal, saya langsung menelpon kawan saya yang bekerja sebagai eksekutif di perusahaan milik pengusaha tersebut. Saya bertanya padanya, “Sejak kapan boss Anda jadi pelayan pembawa sepatu jenderal?”
Pengalaman yang sangat memilukan lagi, ketika saya memiliki kesempatan bermain golf dengan para pengusaha tersebut, mereka dengan bangga bercerita kepada saya bagaimana mereka memberikan pelayanan ekstra kepada para direksi bank-bank BUMN. Jika para direksi bank BUMN itu berkunjung keluar negeri, pengusaha dengan gesit menyediakan wanita-wanita yang berprofesi sebagai pemuas nafsu birahi.
Anehnya, ketika menceritakan pelayanan esktra tersebut, mereka merasa bangga. Seolah-olah merupakan suatu kehormatan tersendiri jika mereka dapat melayani dan memberikan kepuasan kepada pejabat. Sehingga dengan demikian membuat mereka dapat disebut dan diartikan sebagai “orang dekat’ dengan kekuasaan. Mereka juga merasa lebih bangga lagi karena pernah menyediakan lima orang wanita sekaligus bagi seorang pejabat direksi bank pemerintah!
Di waktu itu, ada suatu hal yang menjadi resep bagi para pengusaha untuk meraih sukses. Yaitu, sukses tergantung dari kemampuan mereka memberikan pelayanan sehingga memiliki kedekatan dengan para pejabat! Pelayanan berarti pemberian upeti, kickback dan penyaluran nafsu birahi.

Saya memang perlu menjalin hubungan dengan para pejabat dan direksi bank BUMN, untuk mendapatkan kesempatan pengembangan usaha yang membutuhkan dana dan keputusan mereka. Akan tetapi, untuk meniru dan apalagi menyaingi para pengusaha yang melayani mereka layaknya bangsawan dan raja, bagi saya merupakan kemustahilan. Menurut kaidah profesionalisme perbankan, seorang bankir memang harus membina hubungan baik dengan nasabahnya, mendengarkan keluhan para nasabah dan selalu berupaya untuk memberikan jasa pelayanan perbankan yang memuaskan nasabah, agar mereka menjadi nasabah yang puas dan setia kepada bank.
Akan tetapi, kenyataan yang saya lihat sangat bertolak belakang. Alih-alih bankir yang melayani nasabah, tetapi justru nasabah yang melayani bankir! Para pengusaha yang melayani direksi bank pemerintah. Sebuah realitas terbalik dari apa yang telah saya pelajari sebagai bankir profesional.
Bank-bank pemerintah pada waktu itu berfungsi sebagai penyalur dana kepada para pengusaha kroni Orde Baru. Direksi bank-bank BUMN berfungsi sebagai sinterklas yang memberikan dana-dana murah dengan berbagai kemudahan kepada para pengusaha. Pada zaman itu, dana-dana yang diberikan adalah kredit likuiditas berbunga murah tanpa jaminan yang layak sama sekali. Pada umumnya pemberian uang sogok atau ‘kick back’ kepada direksi bank pemerintah merupakan hal yang wajar dan sudah menjadi rahasia umum. Dari kebiasaan dan praktek dunia perbankan tersebut, akibatnya penyaluran kredit besar-besaran hanya dinikmati oleh para pengusaha yang tidak memiliki basis usaha yang baik dan kuat. Hanya mereka yang mau menjadi penjilat dan memberikan gratifikasi atau ‘kick back’ kepada pejabat bank, yang dapat menikmati mega-kredit perbankan berbunga murah.

Kebiasaan tersebut berkembang menjadi sebuah simbiosa-mutualistik atau kerjasama saling menguntungkan, bahkan akhirnya menjadi saling ketergantungan, apalagi para direksi bank pemerintah juga menyadari bahwa mereka tidak akan menjabat secara terus-menerus. Mereka sadar, bahwa mereka juga akan diganti oleh orang lain. Maka terbentuklah asumsi bahwa masa jabatan merupakan sebuah masa untuk mendulang rejeki sebanyak-banyaknya. Selanjutnya para pengusaha merasa perlu untuk mengamankan posisi jabatan para pejabat bank yang menjadi mitra mereka dengan jalan mensponsori mereka agar tetap dipertahankan sebagai pemangku kepentingan mereka. Akhirnya terbentuklah sebuah sistem dalam perekonomian Indonesia dan perbankan khususnya yang merupakan kegiatan ‘rent seeking’ dan berfungsi sebagai parasit penghisap darah ekonomi Indonesia.
Praktek tersebut berjalan secara sistematik dan menyeluruh dan menjadi sebuah kewajaran. Anda menjadi orang aneh dan tidak normal jika tidak ikut serta. Ketika mayoritas manusia mengatakan warna hitam adalah putih, maka jadi putihlah semua yang gelap gulita. Anda akan dianggap orang gila jika anda sendirian melihat yang hitam dan mengatakan itu adalah hitam. Anda sendirian hidup dalam realitas sesungguhnya yang berbeda dengan apa yang dianggap realitas oleh mereka yang mayoritas. * (Bersambung: Resep Menuju Kehancuran)