deFACTO.id – Dalam rentang waktu lima tahun belakangan ini Kota Pagaralam mulai dikenal dunia sebagai salah satu sentra penghasil kopi terbaik. Padahal, kopi – atau kawe – masyarakat setempat menyebutnya – sudah ditanam sekurangnya sejak tahun 1918.
Hal itu dimungkinkan karena terbukanya arus informasi berbasis IT serta mulai tergeraknya hati generasi muda petani kopi Pagaralam untuk memproses dan membranding hasil kopi mereka – dari sebelumnya yang hanya menjual mentahan.
Berpuluh-puluh tahun lamanya kopi robusta dari Pagaralam dijual mentahan, diangkut dengan truk, dijual ke luar – dan dikapalkan pelalui pelabuhan Panjang (Lampung).
Itulah barangkali sebabnya mengapa kopi Pagaralam (plus Lahat, Empatlawang dan sekitar gugusan Bukit Barisan) selama ini dikenal dengan julukan Kopi Lampung.
Tak puas dengan stigma ini, anak-anak muda Pagaralam tergerak melakukan banyak terobosan, mulai dari memperbaiki sistem penanaman, panen, pascapanen, hingga branding.
Tak puas dengan itu, mereka pun melengkapi “perjuangan” mereka dengan membuka kedai-kedai kopi, dilengkapi dengan peralatan semicanggih, – meski secara ekonomis usaha mereka belum menguntungkan.
Di antara para “pejuang kopi” Itu bisa disebut misalnya Miladi Susanto (brand Kawah Dempo), Frans Wicaksono (Absolut Coffee), Sasi Radial (Jagad Besemah), Azhari (Sipahitlidah Coffee), Dian Ardiansyah (DNA Coffee), Wenny Bastian (Putra Abadi), Efriansyah (Rempasai Coffee), Dendy Dendek (Kopi Baghi), Hamsyah Tsakti (Kopi Kuali), Iwan Riduan (Waroeng Peko) dan banyak lagi.
Dalam banyak lomba dan festival, lingkup nasional maupun internasional, kopi Pagaralam banyak dipuji dan diunggulkan – baik secara kualitas maupun orang-orang (petani & barista) yang ada di belakangnya* HSZ