Seorang teman mengatakan, nasib orang kecil itu seperti tokoh kartun. Dilempar, dibanting, diinjak-injak, digencet, tetapi tetap aja bisa hidup, lalu melucu lagi. Yah seperti tokoh “Si Tikus” dalam serial kartun Mikcey Mouse.
Sudah tidak terhitung banyaknya nasib buruk yang dialami orang kecil di Indonesia. Setiap hari jantung selalu berdebar, menanti nasib buruk apa lagi yang akan terjadi. Celakanya nasib buruk itu juga bisa datang dari pemerintah, yang tidak mampu mengurus rakyatnya.
Yang terbaru adalah saran dari Mendagri Tito Karnavian, agar rakyat makan makanan pengganti nasi, seperti sagu, jagung, talas, kentang, ubi jalar, hingga sukun. Ini juga bikin jantung berdebar-debar. Apa yang sedang terjadi? Apakah krisis beras sedang terjadi? Memang!
Harga beras di eceran memang sudah naik sekitar 3000 / liter (bukan kilogram) dibanding 5 bulan lalu. Ini diakibatkan langkanya pasokan beras, karena negara-negara penghasil beras, sudah mengurangi ekspornya. Indonesia yang sudah kadung jadi importir beras, karuan saja terpelanting-pelanting dibuatnya. Jika harga beras terus naik, apa mungkin rakyat kecil bisa membelinya, lalu harus antri beras lagi seperti tahun 70-an?
Saran Menteri Tito memang bagus. Akibat terlalu banyak mengkonsumsi nasi, jumlah penderita diabetes terus meningkat. Mengurangi konsumsi nasi, berarti ikut mencegah pertumbuhan penderita diabetes. Pemerintah juga sudah terengah-engah mencari negara yang mau menjual berasnya kepada Indonesia, di samping impor yang terlalu tinggi, akan menguras devisa tentunya. Rakyat perlu membantu dengan cara mengurangi konsumsi beras.
Tetapi persoalannya, apakah bahan pangan selain beras itu stoknya cukup, jika masyarakat ramai-ramai mengkonsumsinya? Bagaimana ketersediaanya di pasar? Apakah petani siap memenuhi kebutuhan masyarakat? Karena selama ini, pemerintah abai menangani pertanian dan tata niaga umbi-umbian. Harganya di tingkat petani sangat rendah, sehingga petani enggan menanamnya.
Nah soal rakyat jadi doyan nasi, itu juga awalnya salah pemerintah. Di masa Orde Baru masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi makanan non nasi, dijejali nasi. Padahal dulu, orang-orang Papua dan Maluku makan sagu, ubi atau talas. Orang Madura dan NTB dan NTT makan jagung. Setidaknya begitu yang kita baca dari buku pelajaran di SD tahun 70an. Tetapi sekarang konsumsi nasi sudah merata di seluruh tanah air. Itu lantaran pemerintah waktu itu (Orde Baru) menggalakkan penanaman padi, terutama padi gogo yang bisa panen dalam tempo 3 bulan. Padi ditanam dari Aceh hingga Papua. Bansos isinya beras, bukan jagung atau singkong.
Sekarang setelah rakyat sakau jika tak ketemu nasi, malah disarankan makan tanaman berkabohidrat lainnya. Ini kan kacau.
Percayalah, tanpa contoh dari atas dan aksi nyata, himbauan ini gak bakal jalan. Waktu Nur Marhmudi Ismail jadi Walikota Depok, ia pernah membuat program One Day No Rice (ODNR / sehari tidak makan nasi) di kantor-kantor pemerintahan di Depok. Waktu itu saja banyak pegawai negeri di Kota Depok yang diam-diam pergi ke warung nasi, saat jam makan siang. Setelah Nur Mahmudi lengser, program itu langsung raib.
Nasi merupakan makanan pokok orang Indonesia yang tidak tergoyahkan posisinya. Banyak orang yang merasa belum makan, kalau belum makan nasi. Roti, jagung, bahkan jajanan berbahan dasar beras seperti lontong, bubur, ketupat dan lain-lain, hanya dianggap pengganjal perut.
Untuk membiasakan masyarakat makan
makanan pengganti nasi, pemerintah harus memberi contoh. Tiru saja gagasan ODNRnya Nur Mahmudi. Wajibkan seluruh pegawai pemerintah, TNI dan Polri untuk makan pengganti nasi di tempat kerja, minimal sekali seminggu. Yang melanggar diberi sanksi. Setelah itu rakyat mengikuti. Itu dijamin efektif mengurangi konsumsi beras. Cuma persoalannya, ya itu tadi. Jika pegawai negeri sipil, TNI / Polri lalu diikuti rakyat beralih ke makanan non beras, apakah pasokannya cukup, tata niaganya bisa diatur ? Hari ini saja, menurut berita di TV, harga singkong yang biasanya Rp.5000 di pedagang eceran, sudah naik jadi Rp.7.000. (herman wijaya)