Oleh LAKSAMANA SUKARDI
MENCUATNYA skandal Golden Key di Bapindo berkembang menjadi sebuah contoh dan gambaran yang mewakili penyelenggaraan negara berideologi KKN. Sebenarnya banyak sekali skandal-skandal lain yang jauh lebih besar, akan tetapi tidak ada yang berani mengungkapkan ke publik. Skandal-skandal tersebut juga mendapat pengawalan keamanan yang sangat ketat. Penguasa menggunakan segala macam alasan, terutama alasan demi stabilitas keamanan dan tujuan pembangungan yang sakral dan tidak boleh diganggu.
Oleh karena itu pula saya menganggap bahwa mencuatnya skandal Golden Key teresebut sebagai peluang emas untuk memberikan contoh nyata, sebuah korban yang diakibatkan oleh pelaksanaan kegiatan berbangsa dan bernegara yang tidak demokratis dan tidak berpedoman pada hukum tertulis. Hukum dan undang-undang pada waktu itu hanya berfungsi sebagai hiasan dan hanya diberlakukan untuk warganegara yang dianggap membangkang.
Fakta tersebut terbukti dengan jelas dalam kasus Bapindo. Walaupun penegak hukum (Kejaksaan Agung), akhirnya memproses kasus Bapindo dengan menangkap dan menahan dua orang direksi Bapindo, namun penguasa yang memberikan instruksi (dalam bentuk katabelece) tidak tersentuh oleh hukum.
Saya juga menyayangkan dan menyatakan kekecewaan saya terhadap direksi Bapindo yang ditahan. Sebagai manajemen bank yang profesional, meniti karier dari bawah, kenapa mau mengorbankan reputasi mereka demi menjalankan perintah penguasa. Walaupun saya tahu mereka yang dikorbankan atau dijadikan kambing hitam, tetapi saya menggunakan kesempatan tersebut untuk mengingatkan para profesional bankir, untuk menjaga kredibilitas mereka dan tidak mudah tunduk melaksanakan perintah penguasa yang bersifat sebagai predator yang berpotensi menghancurkan perbankan dan perekonomian Indonesia.
Dalam kolom berjudul Kasus Bapindo: Jangan Membakar, Tempo, 26 Maret 1994, saya uraikan pandangan saya tersebut dengan mengambil contoh dari skandal Golden Key. Saya bertanya, “Kenapa predator (penguasa) yang dijadikan senjata pamungkas (pejabat yang memberikan perlindungan) oleh Eddy Tansil, pemilik Golden Key, tidak tersentuh oleh hukum?”
“KASUS BAPINDO: Jangan Membakar” Tempo 26 Maret 1994
“Tampaknya keahlian dan pengalaman bukan masalah bagi Bapindo. Yang tampaknya menjadi masalah adalah kematian rasa dan intuisi para profesional yang telah direnggut oleh kekuatan eksternal yang telah dijadikan senjata pamungkas oleh Eddy Tansil.”
“Karena itulah, sekali lagi, kita mengharapkan Kejaksaan Agung mencari dan memusnahkan senjata pamungkas yang telah menjadi predator perbankan dan perekonomian Indonesia.” Laksamana Sukardi
Akhirnya Eddy Tansil, pemilik Golden Key, kabur atau “dikaburkan” keluar negeri dan kambing hitam sudah diproses hukum. Bappindo mengalami kerugian besar.
Sebuah skenario yang sering terjadi dan dapat diduga. Sayang, pada waktu itu belum ada sosial media yang dapat menyebarkan berita, melakukan kontrol sosial terhadap kekuasaan. Pendekatan keamanan dengan dalih stabilitas nasional, seolah-olah memberikan hak bagi aparat keamanan untuk melakukan tindakan represif, termasuk membelenggu pers dan kebebasan berpendapat.
Terakhir, untuk kasus Bapindo tersebut, saya menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia khususnya di bidang Perbankan, diatur oleh hukum yang tidak tertulis, yaitu instruksi dan rekomendasi dari penguasa.
Dengan menggunakan contoh “katabelece” sebagai dasar pengambilan keputusan pemberian megakredit kepada Golden Key, saya berusaha untuk memberikan latihan intelektual kepada masyarakat, agar tidak menjadi korban lobotomi atau pengkebirian intelektual. Pesan yang ingin saya sampaikan sebenarnya adalah: kita harus sadar bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kita harus bekerja berdasarkan hukum, yaitu undang-undang dan peraturan yang tertulis, bukan berdasarkan instruksi pejabat penguasa yang dikenal dengan Sabdo Pandito, atau hukum yang tidak tertulis. Terutama dalam contoh pemberian megakredit oleh Bapindo yang dilandasi oleh katebelece dari Menko Polkam.
Saya menulis kolom di majalah hukum Forum Keadilan, 21 Juni 1994, dengan judul Malapetaka Katabelece. Saya juga ingin mengingatkan kepada rakyat Indonesia bahwa negara kita bukanlah negara kerajaan. Penguasa Orde Baru tidak boleh semena-mena memerintahkan perbankan untuk memberikan kredit kepada pengusaha kroni. Saya ingin masyarakat terbuka pikirannya, mendapatkan kembali kebebasan dan kemerdekaan untuk berpikir secara kritis dan positif.
“Malapetaka Katabelece” Forum Keadilan, 21 Juni 1994
“Dalam masyarakat peternalistis, pemimpin adalah suri teladan. Setiap tindakan dan ucapannya patut ditiru oleh rakyatnya. Bahkan, dalam sistem kerajaan, sabda sang baginda adalah intruksi kepada rakyatnya atau, dengan kata lain, pemimpin adalah undang-undang yang tidak tertulis (unwritten rule).”
“Hikmah yang dapat diperoleh dari dampak katebelece yang menimbulkan malapetaka di Bapindo adalah, jika sistem kerja yang diterapkan berdasarkan peraturan tak tertulis, maka akibatnya terbukti sangat fatal dan mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Karena itu peraturan yang tidak tertulis harus diubah menjadi tertulis atau diundang-undangkan secara resmi, sehingga aturan main menjadi jelas dan tidak merugikan negara, serta yang terpenting adalah dapat mencegah tindakan saling menyalahkan dan mengkambing-hitamkan manusia. Lebih ironis lagi, jika masih ada penerapan unwritten rule untuk menginterpretasi peraturan tertulis sehingga kata-kata dan katebelece menjadi semakin beracun.” Laksamana Sukardi
(BERSAMBUNG: Metastase Budidaya KKN)