Home / Esai

Selasa, 16 September 2025 - 08:24 WIB

UU Pembuktian Terbalik: Jalan Sunyi yang Sebenarnya Diperlukan

Oleh: Herman Wijaya

Di tengah perdebatan mengenai Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, ada satu gagasan yang sesungguhnya lebih mendasar namun jarang disentuh: UU Pembuktian Terbalik. Saya pernah menyampaikan ini kepada sahabat saya, Dimas Supriyanto: bahwa bangsa Indonesia sebetulnya lebih membutuhkan aturan yang mewajibkan setiap orang membuktikan asal-usul hartanya, bukan sekadar menunggu siapa yang tertangkap basah dan menjadi terdakwa.

Mengapa? Karena dengan UU Perampasan Aset, negara hanya bisa menyita kekayaan dari mereka yang sudah berstatus terdakwa. Artinya, yang licin, yang pandai bersembunyi, atau yang dilindungi jaringan kekuasaan tetap bisa menikmati hartanya dengan aman. Mereka hidup makmur, bahkan bisa mengajar publik tentang moral, padahal harta mereka entah dari mana datangnya.

Baca Juga  Melihat Keindahan Sempurna Gunung Salak Sambil Nyeruput Kopi

Di negeri ini, korupsi bukan hanya terjadi di lingkaran pejabat tinggi. Ia sudah merembes ke segala lapisan: masyarakat biasa yang mengakali subsidi, aparat kecil yang mencari pungutan, hingga elit politik yang membungkus ratusan miliar dalam proyek negara. Dengan kondisi seperti ini, apakah adil bila kita hanya menunggu seseorang menjadi terdakwa baru kemudian asetnya dirampas?

UU Pembuktian Terbalik akan membalik cara pandang kita. Orang kaya, pejabat, aparat, bahkan masyarakat biasa yang memiliki harta melampaui logika penghasilannya, wajib membuktikan asal-usulnya. Jika bisa dibuktikan halal, silakan dinikmati. Tetapi jika tidak bisa, negara berhak merampasnya untuk kepentingan rakyat. Di sinilah hukum berfungsi sebagai alat moral, bukan sekadar kecerdikan pasal.

Baca Juga  Pak HH yang "Nyeleneh"!

Tentu, banyak yang takut pada gagasan ini. Sebab UU Pembuktian Terbalik tidak hanya menjerat maling kecil, tapi juga membongkar privilese besar yang selama ini bersembunyi di balik status sosial dan kekuasaan. Namun tanpa keberanian ke arah itu, negeri ini akan terus mengulang drama lama: hukum keras bagi tikus kecil, tetapi lembut bagi buaya besar.

Baca Juga  Hadiri Undangan di DPD RI, Amien Rais Dukung Amandemen Konstitusi

Sejarah kolonial pernah mengajarkan kita bagaimana kekuasaan VOC membiarkan ketidakadilan demi keuntungan. Jangan sampai hari ini kita hanya menciptakan VOC baru yang lebih halus: negara yang tampak gagah dengan UU Perampasan Aset, tapi sebenarnya ompong menghadapi kekayaan gelap yang tak tersentuh.

Pada akhirnya, bangsa ini tidak hanya butuh undang-undang yang pintar, tetapi undang-undang yang adil. UU Pembuktian Terbalik adalah jalan sunyi itu. Berat, penuh risiko, tapi hanya di sana keadilan bisa benar-benar dimulai. ***

Share :

Baca Juga

Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Metastase Budidaya KKN
Laksamana

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Indikator Kematian
Laksamana Sukardi

Berita

DI BALIK REFORMASI 1998: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (I)

Esai

Terang di Atas, Gelap di Bawah

Esai

“Mendung Bukan Berarti Hujan. Kawan, Mari Kita Bernyanyi”

Esai

Susi Pudjiastuti Sang Pencinta Kehidupan
Mayangsari

Esai

INSTAGRACE: Keseharian Cinta Bambang Trihatmojo dan Mayangsari

Esai

Korea Salatan Vs Indonesia: Dua jalan berbeda