Tak Ada Dokter, Hanya Seorang Perawat untuk Sebuah Puskesmas PembantuPada akhir Mei 2014 saya bersama kameraman Sandy Farid berangkat ke Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara, yang berbatasan dengan Serawak Malaysia, untuk melalukan pengambilan gambar tentang pelayanan kesehatan di sana, khususnya terkait tuberculosis (Tb).
Perjalanan ke Lumbis sangat jauh, harus melakukan beberapa kali transit penerbangan, berganti pesawat dan angkutan darat. Dari Bandara Soetta memuji Tarakan, dari Tarakan ganti pesawat keciil ke Nunukan. Kamu menginap semalam di Nunukan. Baru besoknya naik speedboat dari Nunukan menuju Kecamatan Sebuku melewati sungai Sebuku yang berbatasan dan masuk teritori Malaysia. Speedboat wajib lapor ke penjaga perbatasan. Ketika saya ingin ingin memotret, seorang tentara menghardik dengan galak.
Dari dermaga kecil di Sebuku kami melanjutkan perjalanan dengan mobil Colt L 300 menuju Mansalong.
Sebenarnya dari Tarakan ke Mansalong bisa lebih murah dan cepat, jika menggunakan speedboat dari Tarakan menuju Malinau menyberangi laut dan menyusuri Sungai Malinau. Dari Malinau ke Mansalong, hanya 30 nenit naik angkutan umum.
Setelah menginap semalam di Mansalong, kami bersama tenaga kesehatan yang akan mengirim obat ke puskesmas di perbatasan, menggunakan longboat menyusuri Sungai Sembakung menuju cluster permukiman Dayak Agabag di Lumbis Ogong, dan sore harinya kembali ke Kantor Camat Lumbis, di cluster permukiman masyarakat Dayak Agabag di Binter. Kami Tidur di Kantor Kecamatan. Di sebelahnya terdapat Puskesmas Pembantu (Pustu), di tempat mana saya dan Sandy akan melakukan pengambilan gambar, selain di cluster permukiman masyarakat Dayak.
Esoknya ketika kami bangun, masyarakat yang ingin berobat ke Pustu sudah banyak yang datang ke Pustu. Kebanyakan orang-orang tua (perempuan dan laki-laki), ibu hamil dan anak-anak. Ada sekitar 40an pasien yang datang.
Irokisnya, untuk pasien sebanyak itu, hanya dilayani oleh seorang tenaga kesehatan perempuan (perawat), yang lulus sekolah kesehatan di Samarinda. Suster tersebut bukan hanya memeriksa, tetapi juga memberikan obat untuk pasien. Obat yang diberikan nyaris sama untuk penyakit yang bermacam-macam. Jika pasien kritis, harus dibawa ke RSUD Malinau, 3 jam perjalanan dengan ketingting disambung dengan mobil.
“Banyak keluarga yang tidak mampu membawa si sakit, karena harga minyak mahal. Kadang orang sakit yang dibawa pun sudah tidak bisa apa-apa. Hanya matanya saja yang berkedip,” kata Ahmad, Camat Lumbis saat itu.
Maksud pemerintah membuat cluster pemukiman bagi masyarakat Dayak yang biasa tinggal di hutan, memang baik. Agar pelayanan kepada mereka, terutama di bidang kesehatan, dapat dilakukan lebih cepat. Tetapi sayangnya, tenaga kesehatan yang melayani tidak cukup. Bayangkan, untuk sebuah kecamatan, meski penduduknya sedikit, hanya dilayani oleh seorang perawat lulusan sekolah kesehatan.
Idealnya di Pustu juga ada dokter umum, dokter spesialis dan apoteker yang paham dengan jenis obat. Fakta di Kecamatan Lumbis seperti itu. Mungkin juga di banyak daerah pedalaman atau daerah terluar juga sama dengan di Lumbis. Siapa tahu.
Bagi para dokter atau dokter spesialis jika memiliki niat tulus ingin mengabdi, bekerja di tempat seperti itu sangat menantang. Tetapi frasa “basah” dan “kering” dalam konotasi penghasilan, tempat seperti itu memang “kering”. Hanya basah dalam arti sesungguhnya, karena air melimpah dan sering banjir. Itulah barangkali, yang menyebabkan ketiadaan dokter maupun dokter spesialis di sana.
Persoalan lain yang dialami oleh dokter maupun dokter speasialis untuk mengabdi di daerah, adalah hambatan dari organisasi profesi kedokteran, seperti disinyalir oleh Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Sutarmidji.
Gubernur Kalbar mengaku wilayahnya kekurangan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis. Dia mengaku kekurangan 17 dokter spesialis dan sub spesialis.
Menurut dia, salah satu yang menghambat penambahan dokter spesialis di daerahnya adalah perlunya rekomendasi dari organisasi-organisasi profesi.
“Memang selama ini, terkesan organisasi profesi menghalangi dokter spesialis masuk. Padahal Kalbar, khususnya, butuh dokter,” kata Sutarmidji kepada wartawan, Rabu (15/2/2023).
Nah jika sinyalemen Gubernur Kalbar itu benar, jadi semakin jelas penyebabnya, mengapa untuk sebuah Puskesmas Pembantu seperti di Kaltara itu hanya dilayani oleh seorang perawat kesehatan. Benar-benar malang nasib masyarakat di pedalaman.