Arahmaiani adalah seorang perupa / pelukis yang cukup kritis terhadap kondisi sosial politik yang terjadi di dalam negeri. Ia merupakan pelopor dalam perkembangan performance art di Indonesia dan Asia Tenggara.Kelahiran Bandung, 21 Mei 1961 ini kerap menggunakan seni rupa sebagai media kritik terhadap isu sosial, budaya dan agama.
Sikap kritisnya sudah mulai muncul sejak mahasiswa, sehingga ia dikeluarkan dari Jurusan Seni Rupa ITB tahun 1983, kemudian ia dipenjara.
“Waktu itu kan jaman Orde Baru, rezim militeristik. Untung saya tidak dihabiskan, tetapi konsekwensinya saya dikeluarkan dari ITB,” ungkap Arahmaiani, dalam Diskusi Budaya yang berlangsung di Teater Kecil TIM, Jakarta, pada Rabu (10/1/2024) malam.
Setelah keluar dari ITB ia memasuki kehidupan yang nyata, berusaha tetap berkarya, sambil mencari makan. Ini pun, lagi-lagi ia mendapatkan masalah. Ketika mengadakan pameran lukisan di sanggar milik Ray Sahetapy, ia didatangi sekelompok orang yang marah atas lukisan “lingga – yoni” yang dibuatnya.
“Waktu itu mereka bila darah saya halal. Padahal saya Islam juga, bapak saya Kiai. Saya sih berani menjelaskan kepada mereka, tetapi mereka tetap mengancam, karena saya dianggap menista Islam. Akhirnya saya harus pergi untuk menyelamatkan diri,” katanya.
Dalam keadaan tak menentu, ia bertemu dengan WS Rendra. Suatu malam, setelah ngobrol panjang, menjelang tidur ia diberikan dua buah buku oleh Rendra. Masing-masing berjudul Kitab Pararaton dan Divine Comedy. WS Rendra dan kedua buku itulah yang membuatnya samakin bersikap kritis.
“Buku Pararaton seakan membenarkan sikap Ken Arok yang suka menipu, mengambil isteri orang, bahkan membunuh! Dia kan dianggap sebagai cikal bakal raja-raja Jawa kan?” Arahmaniani mengomentari buku yang dibacanya waktu itu.
Dalam kegalauan Arahmanaiani akhirnya berpikir, apa yang harus diperbuat. Pencariannya terhadap budaya leluhur, membuatnya pergi ke Bali dan ke Tibet. Di negara kecil itulah dia menemukan bahwa budaya yang mereka pelajari di biara-biara, terutama di Biara Gelug Pa atau aliran Topi Kuning.
“Saya merasa malu ketika tahu yang ada di sana datangnya dari tradisi leluhur kita di sini,” katanya.
Arahmaiani yang sejak beberapa tahun lalu mengajar di Universitas Passel Jerman, mengatakan, banyak orang-orang terdidik di Jerman dan bahkan dari beberapa negara maju lainnya, ingin mempelajari tradisi leluhur kita, yang di sini sendiri mulai diabaikan. Kalau pun digunakan, hanya sekedar basa-basi.
Anak seorang Kiai ini sendiri mulai membentuk komunitas yang konsen pada seni budaya dan kegiatan lainnya, terutama terhadap isu lingkungan di berbagai belahan dunia. (hw)