Jakarta, Defacto – Selain sebagai Advokat, Sugeng Teguh Santoso selama ini juga dikenal sebagai Ketua Indonesia Police Watch, lembaga nirlaba yang mengawasi kinerja kepolisian. Sugeng menjadi Ketua IPW menggantikan almarhum Neta S. Pane, yang meninggal dunia terkena wabah Covid-19.
Sugeng ternyata mampu menjaga marwah IPW, dan menjadikan IPW sebagai lembaga yang tetap berwibawa, idealis dan mampu menyuarakan kepentingan penegakkan hukum, terutama yang tidak mampu dijangkau oleh institusi lain atau pers.
Beberapa kasus besar yang mencuat di tangan IPW adalah kasus yang melibatkan mantan Ketua Propam Polri, Irjen Pol. Fredy Sambo, kasus pemberian dana hibah fiktif pengusaha Akidi Tio untuk Polda Sumsel, kasus Bank Jateng yang didalamnya terkait nama mantan Gubernur Jateng dan Capres Ganjar Pranowo, dan banyak lagi.
Dengan latar belakangnya sebagai Advokat, Sugeng memiliki kemampuan menganalisa sebuah kasus dan dengan berani membeberkannya ke publik.
Di samping sebagai pengacara dan Ketua IPW, Sugeng juga menjadi anggota partai politik. Dia bergabung di Partai Sosialis Indonesia (IPW), partai kecil yang sampai saat ini tidak mampu masuk ke Senayan. PSI bahkan sempat dilecehkan oleh PDIP saat ikut mendukung Ganjar Pranowo sebagai Capres saat awal kampanye Pilpres 2024, sebelum PSI berbalik mendukung pasangan Prabowo – Gibran.
Jauh sebelum PSI bergabung dengan KIMS, Sugeng telah bergabung di PSI. Tentu banyak yang bertanya, mengapa tokoh selaliber dia mau bergabung ke partai yang masih tergolong “Kasta Sudra”.
“Kecenderungan saya sejak dulu adalah berpihak pada yang kecil dan lemah. Itulah sebabnya saya masuk PSI, yang partai kecil. Bahkan saking kecilnya, ketika mendukung Ganjar Pranowo dalam Pilpres tahun 2024 ini, PSI sempat dilecehkan oleh PDIP. Ya tidak apa-apa. Saya selalu ingin berjuang dengan yang kecil dan lemah,” kata STS saat Syukuran terpilihnya jadi Anggota DPRD Kota Bogor, di Komunitas Kandang Ayam, Rawamangun, Minggu (15/9/2024) malam.
STS yang jadi bintang utama dalam acara itu tampil dengan kaus lengan panjang biru tua, berpeci — sebagaimana ciri khasnya — dan memakai celana yang robek di bagian dengkul. Itu bukan celana model anak-anak sekarang yang robek di beberapa bagiannya, atau cara STS membangun citra kerakyatan. Begitulah gayanya. Meski pun bisa saja ia tampil modis, dengan pakaian bermerek, STS tidak pernah menunjukkan sindrom seleb dalam dirinya. Ia bahkan mau memanggul sendiri karung berisi limbah sayuran, sebagai pakan ikan, di kolam ikan miliknya yang berada di atas tanah seluas 11 hektar miliknya, di kawasan Jampang, Parung, Bogor.
Sebagai advokat, STS memang bukan kaleng-kaleng. Penghasilannya sebagai Anggota DPRD Kota Bogor yang mencapai Rp.61 juta / bulan, menurutnya tidak sebanding dengan penghasilannya sebagai lawyer.
“Penghasilan saya sebagi lawyer bisa sepuluh kali lipat, atau paling tidak tiga kali lipat sesuai dengan kebutuhan pribadi dan kantor saya sebulan. Jadi dengan menjadi anggota DPRD, “mantab”, alias makan tabungan,” katanya.
STS tidak berpikir tentang materi dengan menjadi Anggota DPRD. Tujuannya adalah ingin menyuarakan politik dari Bogor. “Politiknya seperti apa, nanti akan kita lihat. Dan saya yakin dengan kapasitasnya saya untuk melalukan hal itu,” tegasnya.
STS mengaku tidak pernah takut di PAW (Pergantian Antarwaktu) atau terkooptasi budaya di legislatif yang seringkali lupa diri. “Saya akan tetap menjadi diri saya. Saya tidak takut di PAW karena menyuarakan kebenaran. Ingat, saya bukan anak ideologis di PSI. Waktu saya dikritik karena menjadi Anggota PSI, saya katakan, bahwa saya juga bisa mendidik Kaesang (Ketua Umum PSI) untuk berpihak kepada rakyat kecil. Jadi kalau nanti saya di PAW, ya buat saya itu suatu berkah, bukan musibah,” ujar STS sambil tertawa.
Namun kembali ditegaskan, yang ingin disampaikan sebagai Anggota DPRD Kota Bogor adalah sikap politik atau suara politik. Bukan mengurus konstituen atau hal-hal praktis lainnya. Kalau sekarang ia diam dengan ramainya polemik soal Gibran atau Kaesang, dia merasa belum perlu bersuara.
“Pada saatnya saya akan ngomong. Kalau sekarang pun ditanya, saya akan bicara,” kata alumnus Fakultas Hukum UI yang masa kecilnya berada di lingkungan padat dan kumuh di Jakarta ini. (hw)