DeFacto.id – Konflik antar para perwira tinggi di tubuh TNI, bukan hal baru dalam sejarah tentara di negri ini.
Konflik biasanya terjadi karena salah komunikasi, lalu berkembang jadi salah paham.
Seperti kisah konflik antara kolonel Abdul Haris Nasution yang saat itu bertugas sebagai Panglima Teritorium Jawa dengan kepala Staf Angkatan Udara pertama Komodor Soerjadi Soerjadarma, yang terjadi paska Agresi Militer Belanda Kedua, 19-20 desember 1948.
Saat itu Soerjadarma akan berangkat ke Den Haag, Belanda, untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar, yang dibuka secara resmi pada 23 Agustus 1949.
Lalu terjadi suatu insiden berikut: tiba tiba datang kawat dari Markas Besar Tentara atau MBT, langsung dari Komandan Teritorium Jawa yakni Kolonel Nasution, yang memerintahkan untuk menahan Soerjadarma karena kerap bertindak diluar komando.
Alasannya, pada saat jatuhnya Kota Yogyakarta ke tangan Belanda, Soerjadarma adalah perwira tertinggi Indonesia yang ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta. Hal itu dianggap telah menjatuhkan nama TNI.
Alasan kedua, ketika Belanda menyerbu Kota Yogyakarta, mengapa Pangkalan Udara Maguwo tidak dibumihanguskan? Padahal perintah bumi hangus sudah menjadi keputusan markas besar tertinggi TNI.
Menanggapi tuduhan ini Soerjadarma menjawab, “saya telah memberitahukan panglima Sudirman bahwa pada hari terjadinya peristiwa penyerbuan Belanda ke Yogyakarta, dirinya ditugaskan mendampingi Bung Karno yang akan terbang ke India”
Lalu ia menyambung, “Sebelumnya saya sudah menunjuk Ruslan sebagai pejabat sementara KASAU, selama saya berada di luar negeri, dan perintah itu tidak pernah diubah oleh Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi APRI sampai mereka tertawan Belanda”
Soerjadarma kemudian menerangkan, soal bumihanguskan pangkalan Maguwo, pihak AU sebenarnya sudah menaruh bom di seputar landasan. Namun mempertimbangan bahwa Delegasi Komisi Tiga Negara, sebuah Komisi yang menengahi konflik Indonesia-Belanda, tak mau hadir di Jogja jika lapangan udara Maguwo belum bersih dari bom maka semua bom yang sedianya untuk membumihanguskan dicopot lagi.
Nasution lalu memberikan argumentasi bahwa TNI seharusnya hanya tunduk kepada instruksi Panglima Besar, bukan kepada Bung Hatta.
Atas argumentasi tersebut, Soerjadarma mengingatkan tentang apa yang tertera dalam struktur organisasi TNI, yaitu Presiden adalah Panglima Tertinggi APRI, dan bahwa Presiden dan Wakil Presiden merupakan dwi-tunggal.
Selain itu, Wakil Presiden juga berstatus sebagai Menteri Pertahanan ad interim, yang berarti wajib bagi Soerjadarma untuk melaksanakan instruksi yang datang dari atasannya.
Perdebatan tersebut mengalami kebuntuan.
Saat Nasution keukeuh melarang Soerjadarma untuk berangkat ke Den Haag, tiba-tiba datang radiogram dari Den Haag yang berisi pertanyaan dari Bung Hatta: apakah Soerjadarma sudah berangkat ke Den Haag?
Lalu Komodor Surjadarma menantang Nasution, “Kalau Anda ingin menahan saya, jawab radiogram ini!” kertas radiogram disodorkan. Nasution diam.
Karena Nasution tak berani menjawab radiogram dari wakil Presiden Muhammad Hatta, maka Soerjadi Soerjadarma berangkat juga ke Den Haag menghadiri KMB.
Belakangan saat kasus penahanan ini ramai, Bung Hatta mengeluarkan surat rahasia yang membela KSAU atas apa yang terjadi pada saat Agresi militer Belanda Kedua di Jogja.
Bung Hatta secara garis besar menulis, mengapa lapangan udara Maguwo tak dibumihanguskan adalah atas permintaan Delegasi Komisi Tiga Negara yang mengancam tak akan datang ke Jogja jika masih ada bom di lapangan udara.
“Membumihanguskan Maguwo lebih banyak kerugiannya dari pada manfaatnya. Bila Komisi Tiga Negara tak mau datang, itu berarti kita mengisolir kita sendiri” tulis Bung Hatta
Sejak peristiwa penahanan itu hubungan kedua perwira ini tak pernah Harmonis lagi.
Sumber buku: Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma
Beny Rusmawan