Oleh LAKSAMANA SUKARDI
SEBAGAI mantan profesional bankir, perjuangan saya lebih mengarah kepada upaya memberikan pencerahan atau “intelectual-exercise”, yaitu melatih otak berolah-pikir secara kritis dan positif dan sekaligus mencegah terpasungnya pikiran-pikiran masyarakat. Kolom-kolom yang saya tulis pada waktu itu harus dibaca dalam konteks sebuah zaman sebelum reformasi. Pada waktu itu, kritik yang terlalu transparan dan mengarah ke pribadi para penguasa, Presiden atau keluarga Presiden, akan direspons dengan tindakan yang sangat represif. Selain itu, media cetak/pers pun tidak akan berani memuat tulisan saya.
Banyak pelajaran yang saya dapati dari sikap saya menjadi politisi yang beroposisi terhadap rejim Orde Baru, yang berkuasa pada zaman KKN. Keterlibatan saya secara intensif di bidang politik, dan pengamatan yang saya lakukan di bidang ekonomi dan perbankan, telah memberikan pelajaran dan kesimpulan yang sangat berarti bagi diri saya dalam menyikapi perjuangan demokratisasi di Indonesia, dan menjadi oposisi terhadap sebuah zaman.
Dari kedua bidang tersebut, saya dapat melihat dan merasakan secara langsung denyut kehidupan kegiatan berbangsa dan bernegara di Indonesia, beserta konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi. Saya melihat bangsa Indonesia pada waktu itu telah mengalami pemasungan pikiran atau lobotomi. Bangsa Indonesia tidak diperkenankan untuk berpikir secara bebas dan merdeka. Masyarakat harus menerima kenyataan pahit sebagai hal yang manis.
Saya juga melihat bahwa bank-bank Pemerintah dan BUMN BUMN pada waktu itu telah dijadikan alat bagi penguasa dan pengusaha kroni rejim KKN untuk memperkaya diri. Saya melihat orang-orang pintar setara team ekonomi yang dikenal sebagai teknokrat, tidak berdaya ketika menghadapi kekuatan politik penguasa KKN. Mereka hanya piawai menjadi pemadam “kebakaran ekonomi”, dengan menciptakan deregulasi-deregulasi ekonomi, tetapi tidak mampu menyentuh sumber “permainan api”, yang menjadi penyebab terjadinya “kebakaran”. Yaitu monopoli perdagangan, kegiatan rente ekonomi non-budgeter dan distorsi-distorsi ekonomi yang menjadi sumber api, sumber kebakaran.
Saya menyaksikan dan memberi kesaksian tentang adanya ketidakadilan dari pembangunan di Indonesia. Pembangunan hanya menambah banyak orang kaya (para kroni dan penguasa KKN) yang menjadi semakin kaya. Sementara yang miskin semakin bertambah miskin.
Saya menyaksikan danj memberi kesaksian betapa orang-orang yang dipuja-puji adalah mereka yang berperilaku merusak dan destruktif terhadap keberlangsungan pembangunan di Indonesia.
Saya menyaksikan dan memberi kesaksian atas sumber penyebab kesengsaraan rakyat, walaupun saya tidak merasakan kesengsaraan tersebut.
Saya menyaksikan dan memberi kesaksian serta mendengar detak sumbu “Bom Waktu” yang berpotensi ledakan ekonomi sangat besar.
Halusinasi Harapan Palsu
SETIAP kali saya mengemukakan opini saya kepada para pengusaha dan pejabat, mengenai adanya masalah serius dalam perekonomian Indonesia, sebagian besar dari mereka tidak setuju. Terutama para pengusaha kroni penikmat rente dari rejim KKN. Mereka bukannya tidak setuju, akan tetapi sudah terlanjur memiliki harapan yang besar untuk terus-menerus mendapatkan kekayaan dari praktek KKN yang sistemik, sehingga mereka tidak mau mendengarkan penjelasan yang bertentangan dengan harapannya.
Mereka benar-benar sedang berhalusinasi dan menjadi sangat egoistis.
Kritikan demi kritikan serta peringatan yang saya tulis di berbagai media dan saya ungkapkan dalam berbagai seminar, dianggap sebagai angin lalu. Seperti pepatah mengatakan, “anjing menggonggong, kafilah berlalu!”
Halusinasi terhadap perekonomian Indonesia tersebut, ternyata juga dialami oleh bank-bank asing, investor dan lembaga keuangan multilateral yang terus menerus memberikan pujian kepada Indonesia. Mereka memuji dengan alasan prestasi Indonesia dalam menciptakan stabilitas ekonomi politik dan pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Akan tetapi, menurut pikiran saya, mereka sudah tidak obyektif lagi. Hal itu dikarenakan jumlah pinzaman yang mereka berikan kepada para pengusaha kroni dan negara Republik Indonesia sudah terlalu besar. Dengan demikian menjadi sangat wajar ketika mereka memiliki harapan agar ekonomi Indonesia tidak akan bermasalah.
Perbankan asing dan lembaga keuangan multilateral, juga telah terpengaruh oleh harapan-harapan palsu atau halusinasi, bahwa ekonomi Indonesia akan terus stabil dan tumbuh secara berkesinambungan. Mereka terpaksa percaya bahwa apa yang akan terjadi pada perekonomian Indonesia akan sesuai dengan harapannya. Mereka takut dan tidak mau melihat hal-hal negatif terjadi di ndonesia. Oleh karena itu, mereka tidak peduli dengan adanya virus-virus KKN yang telah berinkubasi dan menyebar ke segala penjuru kehidupan.
Sinyalemen tersebut terbukti dengan adanya penobatan Indonesia sebagai sebuah contoh kasus keberhasilan pembangunan atau a development show case. Seperti halnya rejim KKN Indonesia yang juga menobatkan Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan.
Sikap tersebut di atas saya amati sebagai suatu kewajaran dari sebuah benturan kepentingan (conflict of interest). Mereka tidak mungkin mempublikasikan hal-hal negatif dalam perekonomian Indonesia, karena mereka telah membenamkan puluhan milyar dollar ke dalam perekonomian Indonesia.
Benturan kepentingan seperti yang saya uraikan tersebut, juga terjadi terhadap ambruknya Lehman Brother, salah satu investment bank terbesar di Amerika. Sehari sebelum kebangkrutan Lehman Brother, lembaga-lembaga peringkat (rating agencies) di Amerika masih memberikan peringkat atau kategori sebagai bank sangat sehat kepada Lehman Brother.
Yang terjadi di Indonesia lebih ironis lagi, karena pandangan-pandangan tersebut ditunjang oleh tidak adanya transparansi dalam praktek perbankan nasional yang justru merahasiakan kegiatan kegiatan KKN dengan menerapkan sensor yang ketat terhadap media dan pers.
Walaupun para kreditor asing mengetahui akan praktek KKN yang sangat membahayakan kualitas kredit, mereka terpaksa mendustai dirinya. Akibatnya, analisa-analisa yang dibuat oleh para kreditur asing mengenai masa depan perekonomian Indonesia lebih merupakan sebuah harapan yang subyektif ketimbang sebuah analisa yang obyektif.*
(BERSAMBUNG: Komponen Sistemik PANCASALAH]