02. SELINGKUH
DAPUR kecil itu rapi, bersih, dan sunyi. Di dalam kulkas ada lima bungkus mie instant, lima butir telur ayam, seikat sawi dan bawang merah putih yang sudah dikupas. Saya menutup kembali kulkas itu, dan menuang air yang sudah mendidih di teko ke dalam dua cangkir kopi, mengaduknya. Pekerjaan yang harus saya lakukan pelan-pelan dengan satu tangan kanan, karena tangan dan kaki kiri masih dilumpuhkan stroke. Kemudian satu demi satu cangkir kopi itu saya bawa ke ruang tamu. Tak lama kemudian Mas Tom muncul dari kamar. Wajahnya lebih segar setelah cuci muka.

“Saya sudah dua hari tidak minum kopi,” kata Mas Tom, sesaat setelah menyeruput kopi.
“Mudah-mudahan cocok,” kata saya.
“Enak. Cocok….”
“Sejak stroke, saya juga tidak sering bikin kopi sendiri. Istri yang biasanya membuatkan kopi.”
“Ya. Kopi selalu mengingatkan saya pada Ning. Dia yang setiap pagi dan sore hari selalu setia membuatnya untuk saya…”
“Sama. Istri saya juga begitu.”
“Ya. Setia. Itu yang saya tidak bisa secara konsisten melakukannya. Saya memang memenuhi tanggung jawab dan kewajiban sebagai suami, sebagai bapak tiga anak saya. Tapi, harus saya akui, saya tidak bisa setia pada Ning. Saya pernah selingkuh…,” kata Mas Tom.
Saya manggut-manggut.
“Kamu pernah selingkuh?” tanya Mas Tom.
“Ya, ya…,” saya mengangguk, lega sudah menjawab jujur.
“Saya berselingkuh setelah anak pertama lahir. Ada banyak alasan yang bisa saya ambil untuk membenarkannya. Banyak sekali alasan yang dapat saya pakai untuk mengurangi rasa bersalah karena telah selingkuh. Ya, saya merasa bersalah, menyesal, takut terkena penyakit. Sikap saya terhadap Ning jadi aneh, menjadi agak berlebihan. Selama beberapa tahun saya menjalani hidup sebagai pesakitan karena mengkhianati cinta saya pada Ning. Dan syukurlah Ning tidak pernah mengetahui perselingkuhan itu,” kata Mas Tom.
Saya mengangguk mengiyakan cerita Mas Tom. Bukan mengiyakan, melainkan merasa lega karena perselingkuhan tetap terjaga kerahasiaannya.
“Karena itulah perkawinan saya dengan Ning tetap utuh. Tapi, kalau misalnya ketahuan, saya pikir masih ada solusinya. Saya dapat berlindung pada pepatah lama perkawinan, bahwa suami yang makan sate sudah biasa, asal tidak membawa pulang kambingnya. Ada banyak lagi pepatah yang memaklumi tabiat selingkuh suami. Saya pikir, Ning juga mengetahui pepatah-pepatah bodoh seperti itu. Semua istri, termasuk istrimu, tentu mengetahui hal itu,” lanjut Mas Tom.
“Ya, ya, semua istri….”
Mas Tom menyulut rokok. Saya juga. Untuk sementara waktu kami berdua terdiam, menikmati asap rokok yang melingkar-lingkar di ruang tamu. Topik perselingkuhan itu juga melingkar-lingkar di benak saya. Topik biasa, banyak orang mengalaminya. Saya hanya ingin mengetahuinya lebih dalam.***