12. PIRINGAN HITAM
PEREMPUAN itu menyodorkan tangannya pada Mas Tom. “Perkenalkan…, saya Bu Susan,” katanya seraya tersenyum.
Mas Tom menyambut uluran tangan Bu Susan, “Saya Mas Tom.” Bu Susan mengangguk, tetap mengenggam jemari tangan Mas Tom.
“Saya tinggal di sini. Di kamar dalam. Sudah tiga tahun saya tinggal di Rumah Lansia ini,” kata Bu Susan sambil tetap menggenggam tangan Mas Tom yang mulai tampak kikuk.
“O iya iya,” dan Mas Tom melepaskan genggaman Bu Susan yang kemudian beralih ke tangan saya.
Saya menyalaminya, menyebut nama dan segera melepaskan jabat tangannya yang lumayan kuat. Untunglah Mas Ar muncul sehingga perhatian Bu Susan beralih kepadanya.
“Gimana, Mas Ar? Kemarin Mas Ar kan bilang kalau player piringan hitamnya mau dianterin ke kamar saya,” tanya Bu Susan.
“Iya, Bu Susan. Masih akan saya ganti jarum pemutarnya dulu. Habis itu saya anter ke kamar,” kata Mas Ar.
“Baik, baik…, saya tunggu ya. Oya.., Mas Tom dan Mas ini saya undang datang ya. Besok saya ulang tahun. Datang ya. Saya ingin kasih tahu anak-anak saya kalau di sini saya senang, punya banyak teman. Datang ya…,” kata Bu Susan kepada Mas Tom dan saya yang entah kenapa mengangguk.
“Baiklah, terima kasih. Saya tunggu kehadirannya ya…,” kemudian dengan gerakan yang sudah diatur sedemikian rupa, Bu Susan berlalu pergi.
Saya mencium bau parfum. Sungguh gerakan yang diatur dengan sempurna.
“Bu Susan itu penghuni Rumah Lansia yang paling ramah, ceritanya banyak sekali. Dia pernah lawin cerai empat kali. Konon anaknya lima, tapi tidak satupun yang pernah ke sini. Tapi, tentang anaknya sering diberikan olehnya. Selalu dikatakan akan datang, tapi tak pernah muncul. Besok dia berulang tahun ke 70. Tapi sejak sebulan lalu sudah cerita bahwa anak-anaknya akan datang, sebagian konon tinggal di Kanada. Dia pinjam player piringan hitam untuk merayakan ulang tahunnya. Kalian tadi diundang, kalau sempat hadir ya? Bu Susan sangat dekat dengan Dien,” kata Mas Ar, bercerita tanpa kami minta.
Mas Tom mengangguk, menatap saya, “Besok kita datang ya?”
Saya mengangguk mengiyakan. Saya tergoda untuk lebih banyak yahu tentang Bu Susan. Juga tentang Mas Ar dan Mas Tom. Saya ingin merekam, dan mencatat, apa yang sesungguhnya menarik bagi laki-laki tua terhadap perempuan tua yang menurut saya pernah cantik di usia mudanya. Masih kelihatan jelita. Saya ingin merekam dan mencatatnya. Saya penulis yang terkadang ingin menulis tentang fufufafa, demokrasi dan topik politik yang sedang heboh di medsos. Tapi, saya pikir itu tema yang terlalu berat bagi akal pikiran saya yang belum sembuh benar dari stroke. Saya hanya ingin menulis yang enteng-enteng saja, untuk sekedar melancarkan keterampilan menulis. Saya pikir, menuliskan cerita tentang orang-orang tua seperti Mas Tom, Mas Ar dan Bu Susan, dapat saya jadikan sebagai medan pelatihan terampil menulis. Saya pikir begitu. ***