Jika kita berada di Bandara Changi Singapura, ada dua hal yang menarik – menurut saya – yakni bertambahnya spot-spot menarik yang bisa memanjakan mata, sekaligus tempat wisatawan berfoto sebagai kenang-kenangan. Yang kedua adalah banyaknya etnis India di dalam bandara.
Orang-orang India terlihat di hampir semua sudut di Bandara Changi. Baik yang sedang melakukan check in di counter penerbangan; yang sedang duduk-duduk, ngobrol-ngobrol dengan sesama mereka, sampai yang baru turun dari pesawat atau menuju terminal-terminal keberangkatan.
Sejauh yang saya perhatikan, etnis India tidak hanya memenuhi Bandara Changi. Ketika saya menginap di sebuah hotel di Kawasan Lavender tahun lalu, banyak tamu-tamu etnis India yang juga menginap di hotel tersebut. Para pekerja kasar di Singapore, seperti para pekerja perawatan dan pembuatan infrastruktur juga mempekerjakan etnis India, bahkan pekerja yang bertugas membersihkan sampah di sungai. Tentu saja di Kawasan perkantoran di Marina Bay, banyak pula karyawan dari etnis India.
Dengan jumlah populasi sebanyak 9 persen dari seluruh penduduk Singapura, orang India merupakan etnis terbanyak ketiga di Singapura, setelah etnis Cina dan Melayu. Sebagaimana etnis Cina, etnis India juga memiliki sejarah Panjang dalam keberadaannya di Singapura. Mereka sudah datang ke negeri pulau ketika Singapura masih menjadi bagian Malaysia. Belum merdeka. Tidak heran jika etnis India memiliki tempat tersendiri di Singapura.
Kontak dengan India kuno meninggalkan pengaruh yang besar pada budaya Melayu asli Singapura. Namun, pemukiman besar-besaran orang India di pulau itu baru terjadi pada saat pendirian Singapura modern oleh Imperium Inggris pada tahun 1819.Pada awalnya, populasi India bersifat sementara, kebanyakan terdiri dari laki-laki muda yang datang sebagai pekerja kerajaan, buruh dan tentara. Menjelang pertengahan abad ke-20, komunitas yang menetap telah terbentuk, dengan rasio jenis kelamin yang lebih seimbang dan penyebaran kelompok usia yang lebih baik.
Jika kita naik kereta bawah tanah di Singapura, ada sebuah stasiun di luar Kawasan Orchad yang bernama Dhobi Ghaut. Dari Namanya saja kita sudah tahu bahwa itu nama India. Dhoby Ghaut atau Dhobi Ghat secara harafiah berarti tempat mencuci dalam bahasa Hindi, dari dhobi yang berarti “pencuci” atau seseorang yang melakukan laundry dan ghat, secara umum berarti tempat yang luas.
Hingga awal 1900-an, para dhobi menggunakan air dari aliran yang jelas yang mengalir ke Sungai Bras Basah, yang sekarang dikenal sebagai Kanal Stamford. Aliran ini adalah saluran besar di samping Handy Road.
Orang India di Singapura tidak hanya dikenal sebagai pekerja atau pedagang. Mereka juga terjun ke politik. Tiga dari Sembilan Presiden Singapura berasal dari etnis India. Mereka adalah Presiden ketiga Singapura Devan Nair (tahun 1981), Tharman Shanmugaratnam presiden sejak 2023, menggantikan Halimah Yacob, presiden sebelumnya yang juga keturunan India – Melayu. Selain itu ada Menteri dari etnis India seperti Vivian Balakrishnan yang menjadi Menlu pada tahun 2015. pemimpin oposisi sejak tahun 2020, Pritam Singh, juta etnis India.
Di beberapa belahan dunia lain, politisi berdarah India juga sukses meraih puncak karier mereka. Seperti Perdana Menteri Inggris saat ini, Rishi Sunak adalah keturunan India. Rishi Sunak lahir di Southampton dari kedua orangtuanya yang merupakan keturunan India. Kedua orangtuanya bermigrasi ke Britania Raya dari Afrika Timur pada tahun 1960-an
Begitu pula dengan Wakil Presiden Amerika, Kamala Harris, yang berdarah India (ibu) dan ayah Jamaika. Harris lahir di Oakland, California. Ia merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Ibunya, Shyamala Gopalan, merupakan peneliti kanker dari India, sedangkan ayahnya, Donald Harris, merupakan ekonom asal Jamaika.
Diaspora India memang bukan kaleng-kaleng, meskipun mereka juga banyak yang menjadi pekerja kasar atau hanya menjadi penjual makanan di negara tempatnya merantau.
Dunia teknologi informasi (TI) kerap diidentikkan dengan kepemimpinan orang keturunan India. Hal tersebut cukup beralasan, karena bos-bos perusahaan teknologi global banyak yang memiliki darah India. Sebut saja CEO Microsoft Satya Nadella, CEO Alphabet (Induk perusahaan Google) Sundar Pihcai, CEO IBM Arvind Krishna, hingga CEO Adobe Shantanu Narayen.
Diaspora India di Indonesia banyak yang menjadi pedagang tekstil, dan sebagian menjadi produser film. Tanpa produser-produser berdarah India, kemungkinan perfilman Indonesia sudah mati sejak lama. Produser pribumi yang paling hebat pun paling hanya mampu membuat 1 – 2 film dalam setahun. Itu pun sudah sulit ditemui.
Nah bicara diaspora, Menkomarinvest Luhut B. Panjaitan baru-baru ini mewacanakan akan memberikan dwi kewarganegaraan bagi diaspora Indonesia, agar mereka bisa pulang dan membantu membangun negeri. Konsep dwi kenegaraan itu katanya meniru India yang sudah melakukan kebijakan seperti itu sejak lama. Pertanyaannya, sehebat apa diaspora Indonesia yang saat ini tersebar di seluruh dunia? Satu-satunya diaspora Indonesia terhebat yang pernah ada adalah BJ. Habibie, yang sampai saat ini belum ada penggantinya.
Konon banyak diaspora Indonesia yang enggak kembali ke tanah nenek moyang mereka, karena ketika mereka kembali, keahlian mereka tidak dihargai. (herman wijaya)