SAYA menyadari bahwa ternyata saya telah hidup di sebuah zaman yang serba salah, di mana PANCASALAH hadir dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berawal dari upaya saya untuk mencari jawaban terhadap sebuah pertanyaan, akhirnya saya mampu melihat kejadian dan potensi masalah yang akan timbul dari sebuah zaman yang membudidayakan KKN. Sebuah zaman yang saya harapkan memberikan masa depan yang baik bagi saya sebagai seorang pemuda.
Saya mendapat tantangan untuk memasuki kehidupan pada zaman tersebut, dengan pilihan antara turut menikmatinya atau berjuang untuk mengubah. Tidak ada pilihan yang baik bagi saya. Nalar saya mengatakan bahwa saya tidak boleh turut menikmati dan berpesta-pora dalam rejim KKN, karena pesta tersebut akan berakhir dengan pahit dan membuat bangsa Indonesia menjadi sengsara. Nalar saya juga mengatakan bahwa saya harus menanggalkan semua fasilitas, gaji besar dan lain-lain untuk mencoba mengubah zaman.
Namun demikian, saya tidak memiliki kekuatan untuk mengubah zaman yang didukung oleh kekuatan uang dan kekuatan politik yang sangat besar. Saya hanya bisa mempertahankan marwah diri saya, agar saya tidak menjadi korban lobotomi atau pengebirian intelektual yang membuat bangsa kita tidak mampu berpikir dan bertanya secara merdeka.
Kemampuan saya bertanya sebagai orang merdeka telah membuat saya melihat permasalahan-permasalahan besar yang menciptakan sebuah bom waktu pada perekonomian Indonesia. Bom waktu tersebut suatu waktu akan meledak dan memporak-porandakan zaman tersebut beserta seluruh pelaku zaman dan pendukungnya.
Memasuki tahun 1997, saya melihat dan merasakan detak bom waktu dengan “sumbu api” yang semakin pendek dan tidak lama lagi akan meledak. Pertanyaaan saya menerawang zaman, mulai terjawab secara bertahap.
Berikut ini adalah tahapan detak detik sumbu bom waktu yang sekaligus memberikan jawaban atas pertanyaan saya:
Juli 1997, Pemerintah Masih Percaya Diri
BULAN Juli tahun 1997, ketika krisis ekonomi negara negara Asean mengalami masalah yang dimulai dari didevaluasinya mata uang Thai Baht dan Peso Philipina, para pejabat ekonomi Indonesia menganggap krisis tersebut tidak akan dialami Indonesia, karena SALAH LIHAT bahwa Indonesia memiliki indikator ekonomi kuantitatif yang kuat.
Para pejabat Indonesia pun merespon krisis ekonomi di Thailand dengan enteng. Mereka membuat statement yang pada umumnya menganggap kondisi perekonomian Indonesia sangat kuat dan tidak akan mengalami hal yang serupa dengan Thailand.
Mereka tidak mau menerima kenyataan seperti yang telah saya uraikan bahwa sektor keuangan di Indonesia sudah tidak mempercayai pemerintah. Masyarakat lebih percaya kepada desas-desus negatif bahwa rupiah juga akan terdevaluasi. Maka terjadilah kepanikan, mereka memburu mata uang dollar secara besar-besaran. Terjadi arus modal keluar negri yang cukup besar dan mengkhawatirkan.
Para pejabat ekonomi Indonesia telah mengabaikan persepsi yang telah terbentuk dikalangan komunitas investasi dan masyarakat. Para pejabat tidak menyadari betapa pentingnya persepsi tersebut dan mengabaikannya. Mereka tidak sadar bahwa masyarakat akan bertindak sesuai dengan persepsi yang telah terbentuk (perception drives the peoples’ behavior). Masyarakat tidak lagi percaya terhadap pernyataan-pernyataan pejabat karena kepercayaan pemerintah telah terlikuidasi. Dengan demikian, persepsi masyarakat bahwa akan terjadi devaluasi, lebih berbahaya daripada devaluasi itu sendiri.
Agustus 1997, Perbankan Mengalami Goncangan Likuiditas
SEKALI lagi, para teknokrat Indonesia bereaksi dengan piawai, yaitu melakukan pengetatan uang beredar dengan menaikkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 12% menjadi 30%.
Perbankan mengalami goncangan likuiditas, banyak yang harus menutupi kekalahan kliring dengan melakukan pinjaman antar bank. Akibatnya, suku bunga pinjaman antar bank berdurasi pendek mengalami peningkatan luar biasa, yaitu menjadi 81%.
(Catatan: kalah kliring artinya lebih banyak nasabah yang menarik dana dari pada yang mendepositokan dananya pada sebuah bank dalam satu hari yang sama)
Dipengaruhi oleh perkembangan politik, yaitu adanya perlawanan terhadap kekuatan Orde Baru oleh Megawati yang semakin mendapat dukungan rakyat, membuat jurus kebijakan moneter sudah tidak mempan. Nilai tukar rupiah semakin turun. Perusahaan-perusahaan yang pada umumnya banyak meminjam uang dalam mata uang dollar, turut memperburuk situasi dengan berlomba-lomba memburu dollar untuk mengamankan pembayaran cicilan pinjaman mereka. (Baca: Politikus Kasta Paling Rendah)
Apa yang terjadi adalah kombinasi peningkatan tingkat suku bunga dan penurunan nilai tukar rupiah secara bersamaan! Bank Indonesia mulai memberikan dukungan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami masalah.
{BERSAMBUNG: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (II)}