PULUNG WAHYU MAKUTHARAMA. Sejak kecil, saya sudah hidup dalam mitologi Jawa yang rumit, magis, gugon tuhon dan terkait dengan realita faktual. Salah satunya adalah Pulung Wahyu Makutharama, yang lazim disebut pulung, mitos yang selalu muncul setiap kali terjadi menjelang pemilihan lurah, bupati dan pemimpin masyarakat. Masyarakat selalu menantikan datangnya pulung, seringkali digambarkan menyala seperti meteor, yang jatuh dari langit dan di mana pulung itu jatuh. Bisa di atap rumah orang yang terpilih, atau di dusun tertentu tempatnya menetap.
Pulung adalah penanda bahwa yang kejatuhan Wahyu Makutharama akan tampil sebagai pemenang dan menjadi pemimpin yang jujur bisa dipercaya, adil dan bijaksana. Dan faktanya selalu demikian. Pemimpin yang ketiban pulung, akan selalu menjadi panutan, role model pemimpin ideal dan mumpuni.
Tapi, pulung tidak bersifat permanen. Jika penerima pulung tergoda kekuasaan, mabuk keserakahan, maka pulung akan segera meninggalkannya. Dan si pemimpin akan berubah total, akan bertumbuh menjadi tiran, menjadi penguasa yang mengkhianati sekutunya, memusuhi rakyat yang dahulu memuliakannya–menjadi seperti yang digambarkan lakon wayang carangan Petruk Dadi Ratu.
Suatu saat, saya ingin ngobrol dengan Butet Kartaredjasa, barangkali mitologi Pulung Wahyu Makutharama itu bisa menjadi premis lakon teater yang menarik, dan jenaka. Siapa tahu… **
Harry Tjahjono
11/11/2023