Apakah negara memiliki kejahatan, dan bisa berbuat jahat kepada warganegaranya sendiri? Sudah pasti ada, dan contohnya sudah banyak sekali. Kejahatan negara (state crime) itu yang pernah dirasakan oleh Laksamana Sukardi, mantan Menteri BUMN di era Presiden Megawati. Tentu saja kejahatan yang dialaminya itu setelah dia tidak menjadi pejabat negara.
Pada tahun 2007 ada peristiwa yang sangat menghebohkan jagat hukum Indonesia, yakni pengusutan kasus penjualan dua unit VLCC (Very Large Crude Carrier) atau kapal tanker Pertamina oleh Kejaksaan Agung RI.
Mantan Menteri BUMN dan Komisaris Pertamina Ir. Laksamana Sukardi, “dituduh” sebagai dalang dari penjualan kapal tanker tersebut, yang diduga merugikan negara puluhan juta dollar. Pengusutan kasus penjualan kapal tanker itu merupakan salah satu rekomendasi Pansus DPR RI yang telah disahkan pada Rapat Paripurna tanggal 16 Januari 2007.
Kasus penjualan dua unit tanker oleh PT Pertamina itu awalnya diselidiki oleh KPK sejak tahun 2004. Lalu pada Rapat Kerja Komisi III dengan KPK pada 22 Januari 2007, dilaporkan tahwa lembaga yang dipimpin Taufiequrachman Ruki itu belum berhasil membuktikan adanya unsur memperkaya diri dan kerugian negara, karena belum adanya harga pasar atau pembanding yang wajar dari kapal VLCC; sehingga penanganan kasus belum bisa ditingkatkan ke penyidikan.
Penjualan kapal tanker Pertamina itu lalu diusut KPPU, kemudian dibawa ke Pansus DPR RI. Kasus berakhir setelah Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan Anggota DPR memuji Kejaksaan Agung yang bertindak cepat dalam melakukan pemeriksaan kasus VLCC dengan mengambil alih kasus tersebut dari KPK. Oleh karena itu, Kejaksaan Agung menerima pujian dan KPK dihujat karena dianggap tidak mampu menangani kasus ini.
Sebelum jatuh masuk ke Pansus DPR dan Kemudian ditangani Kejaksaan Agung, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah lebih dulu mempersoalkannya. Dalam putusannya, KPPU menyatakan ada kerugian negara yang berkisar US$20 juta sampai dengan US$56 juta, atau setara dengan Rp.180 miliar sampai Rp.504 miliar.
Penjualan 2 kapal tanker tersebut sebenarnya sudah disetujui oleh Kementerian Keuangan yang ketika itu dipimpin oleh Budiono. Tapi ketika kasus bergulir, Menteri Budiono tidak pernah bersuara untuk membela. Belakangan Laksamana baru kaget, ketika Budiono bergabung dengan pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, yang menjadi lawan Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan Presiden tahun 2004.
Kasus penjualan kapal tanker itu akhirnya ditutup oleh Kejaksaan Agung RI, setelah Kejagung melalui Keputusan Majelis Peninjauan Kembali, menganulasi keputusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
Dengan demikian amar putusan KPPU dinyatakan salah. Secara otomatis, keputusan VLCC DPR RI yang didasari keputusan KPPU juga tidak memiliki kebenaran hukum. MA menyatakan bahwa dalam Amar Keputusan Peninjauan Kembali yang mengadili dirinya sendiri, tidak pelanggaran hukum dan tidak ada kerugian negara. Negara justru diuntungkan sebesar US$53,2 juta.
Pemaparan yang terinci tentang latar belakang dan proses hukum terkait penjualan kapal tanker Pertamina itu, ditulis melalui buku memoar Laksamana Sukardi, berjudul “Belenggu Nalar”. Buku setebal 214 halaman ini diterbitkan oleh Kompas, dan akan diluncurkan dalam waktu dekat ini. (hw)