
Sudah seminggu lebih Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman (KPMP) membeberkan dosa-dosa pelaksanaan penyaluran PEN Subsektor Film di hadapan Komisi III DPR RI, tetapi sampai hari ini belum ada langkah kongkrit yang dilakukan.
Maksudnya, sampai sejauh mana KPMP bisa membuktikan 7 (tujuh) dosa penyaluran PEN Subsektor Film, lalu membawanya ke ranah hukum. Apakah melaporkannya ke kepolisian atau ke KPK. Jadi bukan hanya sekedar perang opini di media massa dengan kementerian yang meyalurkan PEN Subsektor Film atau pihak-pihak yang mendukungnya.
Ketika melapor ke Komisi III DPR, KPMP menyatakan ada 7 “dosa” yang dilakukan dalam penyaluran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Subsektor Perfilman dari Kemenparekraf.
Ke tujuh dosa itu meliputi ketidakadilan, tidak tepat sasaran, indikasi pemufakatan jahat, kegaduhan, grativikasi, penyalahgunaan wewenang, dan indikasi manipulasi penyalahgunaan anggaran.
Bila dibawa ke ranah hukum, dari tujuh dosa yang disampaikan itu setidaknya ada empat point yang memiliki ancaman pidana berat, yakni: pemufakatan jahat, grativikasi, penyalahgunaan wewenang, dan manipulasi anggaran, dan bahkan frasa “tidak tepat sasaran” juga bisa dipidanakan.
Tentu saja tuduhan itu harus disertai bukti-bukti yang kuat, bukan asumsi atau katanya-katanya, belaka.
Anggota Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan, SH dalam pertemuan tanggal 7 Desember lalu meminta agar KPMP menyampaikan laporan yang lebih menukik, dan bukti-bukti yang kongkrit, bukan seperti pemberitaan media massa.
“Dari anggaran sekitar 300 sampai 500 milyar, yang diduga tidak benar itu berapa? Supaya terukur, yang nerima enggak benar ini berapa, yang menurut KPMP akan dihubungi oleh panitia film melalui email dan HP?” tanya Trimedya.
Sejauh ini memang belum ada bukti-bukti kongkrit yang dibeberkan KPMP kepada publik. Apalagi dengan data akurat seperti yang diinginkan oleh Anggota Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, SH.
Sementara itu perang opini sudah terjadi. Sehari setelah KPMP menghadap Komisi III DPR, Kemenparekraf mengeluarkan siaran pers yang menyatakan PEN Subsektor Film telah memberi dampak besar bagi serapan tenaga kreatif.
Bantuan dana PEN film pada rumah produksi untuk membuat film pendek, film dokumenter maupun film layar lebar dipastikan melibatkan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung atau pekerja kreatif. Mulai dari produser, sutradara, penjulis skenario, kru film maupun aktor dan aktris. Terkena dampak positif juga bagi tenaga kerja tidak langsung seperti catering, hingga pekerja bioskop yang jumlahnya mencapai ratusan ribu.
Seolah ingin membenarkan pernyataannya, Kemenparekraf mengutip hasil studi dari Lembaga penelitian dan konsultan Oxford Economics tahun 2010, yang menyebutkan industri film di Indonesia memberikan kontribusi ekonomi (PDB) nasional hingga 0,43 % atau 2,98 juta dolar AS serta menciptakan lapangan kerja secara nasional sebesar 0,45% atau sebanyak 491.800 tenaga kerja.
Tentu saja data yang disampaikan oleh Kemenparekraf harus dikaji lagi dengan benar. Lagipula mengutip hasil penelitian tahun 2010, sungguh tidak relevan dengan kondisi saat ini. Itu Cuma ingin sok keren dan malas memberikan argumentasi yang pas untuk melawan serangan KPMP yang kini telah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).
Perang opini terus terjadi setelah itu. Pada 10 Desember 2021 jakarta suaramerdeka.com menurunkan tulisan Ketua Sinematek Indonesia, Akhlis Suryapati berjudul Mercon Banting Pesta PEN Subsektor Film. Akhlis adalah Bendahara di KPMP.
Dalam tulisannya yang panjang, Akhlis membedah peran pemerintah di sektor perfilman sejak era Menbudpar Jero Wacik, Menparekraf Mari E. Pangestu hingga saat ini. Dia menyimpulkan ada ego sectoral, politik belah bambu, dan hanya bagi-bagi permen dari pemerintah kepada masyarakat perfilman.
Di akhir tulisannya Akhlis memaparkan: Kekuasaan mampu mempublikasikan kesalahan menjadi kebenaran. Perlawanan atas ketidakadilan adalah mercon banting – letupan kecil yang hanya bikin kaget sejenak.
Pada tanggal 13 Desember 2021 jakarta.suaramerdeka.com menurunkan tulisan hasil wawancara dengan sineas Adisurya Abdy – juga anggota KPMP – yang intinya mengajak Kurator PEN Subsektor Film untuk berdebat secara terbuka.
Menurut Adi, dengan debat terbuka masyarakat umum maupun masyarakat perfilman bisa menilai, apa sebenarnya di balik gaduh penyaluran dana PEN Subsektor Film ini.
Tidak ingin ketinggalan dalam kegaduhan yang sedang terjadi, wartawan senior yang juga mantan Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmojo menurunkan tulisan panjang di indonesiana.id.
Tulisan berjudul Catatan Kontroversi Bantuan Subsektor Perfilman yang menurutnya dibuat atas permintaan sutradara Enison Sinaro itu, tidak terlalu banyak memuat gagasan menarik, karena hanya berisi suntingan dari tulisan-tulisan yang telah ada plus pencantuman referensi belaka.
Point yang bisa ditangkap dari tulisan Kemala Atmojo itu adalah dorongan agar KPMP harus bisa membuktikan tuduhan miringnya terhadap pihak-pihak yang berperan dalam penyaluran dana PEN Subsektor Film.
Di akhir tulisannya Kemala menulis begini: Jadi, akankah keributan ini masih bakal berkembang menjadi kasus hukum yang akan diselesaikan melalui pengadilan? Atau menjadi bahan diskursus etika publik – terutama soal integritas pejabat publik – yang lebih serius nantinya? Ataukah semua ini sekedar polusi saja dalam industry perfilman kita? Kita tunggu saja.
Tulisan Kemala Atmojo ditanggapi lagi oleh Akhlis Suryapati dalam tulisannya berjudul Tanggapan Akhlis Suryapati Atas Tuisan Kemala Atmojo yang dimuat di jakarta.suaramerdeka.com pada tanggal 14 Desember 2021.
Akhlis menyinggung lead tulisan Kemala Atmojo: Apakah ini sekedar teriakan mereka yang sakit hati, atau memang ada yang tidak beres?
Menurut Akhlis: Pun kalau sakit hati, maka berteriak itu normal. Tandanya ingin sehat hati. Yang tidak “sehat hati”, adalah jika sakit tetapi diam, karena kemungkinan sesungguhnya “hatinya” sudah mati sebelum ajal.
Rupanya polemik belum cukup sampai di situ. Pada 14 Februari 2021 muncul lagi tulisan anggota KPMP lainnya, Wina Armada, juga di jakarta.suaramerdeka.com berjudul Catatan atas Catatan.
Dalam tulisan itu Wina mengecam penulis sebelumnya yang memaparkan: penerima bantuan PEN Subsektor Film adalah pihak yang innocence (polos, tidak tahu – mungkin maksudnya innocent/Red.).
Menurut Wina, penulisnyalah yang innocence dan polos, bahkan cenderung menidaktahukan data dan fakta. Nampaknya yang dituju adalah Kemala Atmojo, meski pun Wina tidak menyebutkan nama.
Kita tidak tahu sampai kapan acara “berbalas pantun” ini akan berakhir. Yang ditunggu masyarakat sekarang bukan lagi adu opini, tetapi langkah-langkah kongkrit, supaya jelas akhir dari cerita ini. Masyarakat menunggu langkah-langkah yang lebih mematikan dari KPMP, untuk membuktikan tuduhannya!
Jika ini sebuah permainan catur, tidak menarik kalau hanya berakhir remis.
Foto: Sebagian anggota KPMP ketika menghadap Komisi III DPR RI, 7 Desember 2021 lalu. (ist.)