Ibu Kota baru Indonesia mulai dibangun di Kalimantan Timur. Di belahan timur Nusantara, dengan harapan dan bertujuan membangkitkan kemakmuran rakyat di seluruh penjuru Indonesia. Sebuah Ibu Kota baru yang diharapkan dan dimaksudkan menjadi atau mewakili identitas Indonesia.
Kelak, DKI Jakarta akan menjadi Ibu Kota yang lama. Ibu Kota yang oleh para gubernurnya, termasuk Pak Jokowi, pernah lebih diidentikkan dengan Betawi sebagai identitasnya. Dan yang baru kiranya layak menyimak yang lama.
Membangun Masjid Raya berarsitektur Betawi dan merevitalisasi makam Pangeran Jayakarta, misalnya, adalah kewajiban yang penting dan mulia. Memakai busana adat Betawi seminggu sekali adalah baik, unik dan menarik.
Saya bahkan setuju jika bahasa Betawi lu-gue dijadikan bahasa pergaulan birokrat DKI. Selain egaliter juga lebih terdengar nasionalistik dibanding istilah antum-ana yang kini jauh lebih popular daripada istilah ente-ane yang sesungguhnya merupakan “produk kreatif” budaya Betawi tatkala berakulturasi dengan budaya Arab.
Pendeknya, apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan para gubernu Jakarta untuk memuliakan dan melestarikan kebudayaan Betawi adalah baik, perlu dan patut didukung. Namun demikian, bukan berarti tanpa catatan.
Ihwal identitas Jakarta sebagai Ibu Kota RI, misalnya. Apakah Monas yang digagas Bung Karno dan merupakan perwujudan lingga-yoni yang terdapat dalam khasanah budaya purba Nusantara itu bukan identitas Jakarta sebagai Ibu Kota RI?
Ketika Bung Karno membangun Masjid Istiqlal tepat di depan Gereja Kathedral, tentu bukan karena di Jakarta waktu itu tidak ada tempat lain untuk mendirikan tempat ibadah. Bahkan demi mewujudkan berdirinya Masjid Istiqlal di lokasinya sekarang ini, Bung Karno tega menghancurkan bangunan cagar budaya peninggalan Belanda.
Keputusan Bung Karno membangun masjid agung berarsitektur tropis itu memang dilandasi visi yang jauh melampaui zamannya. Di mata dunia, keberadaan Masjid Istiqlal yang bertetangga dengan Gereja Kathedral itu mencerminkan Indonesia yang kehidupan beragamanya rukun dan damai—walau kenyataannya sekarang ini tidak selalu rukun dan tidak senantiasa baik-baik saja.
Menempelkan ornamen Betawi pada bangunan yang ada di Jakarta, adalah gagasan yang baik, unik dan menarik, tapi mungkin juga akan menampilkan kenyataan yang seragam dan cenderung lucu. Setidaknya mengingatkan kita pada program “kuningisasi” di era Orde Baru, atau “birunisasi” pada dua kali masa jabatan Presiden SBY.
Setidaknya, akan membuat Jakarta akan “kehilangan” kesempatan untuk memiliki gedung berarsitektur Indonesia seperti Wisma Dharmala yang dirancang arsitek Amerika Paul Rudolph berdasar inspirasi yang ia dapatkan dari bangunan tradisional Bali.
Menjadikan “produk kreatif” kebudayaan Betawi sebagai sekadar perabot seremoni atau ornamen penghias daya tarik pariwisata, setidaknya dalam pemahaman saya, sama halnya dengan memandang dan memperlakukannya sebagai fosil.
Betapapun indah, penting dan bernlai sejarah tinggi, sebuah fosil tetaplah benda mati. Padahal, “pergulatan kreativitas” yang terjadi dalam kebudayaan Betawi tempo dulu telah berhasil melahirkan begitu banyak “produk kreatif” seperti Gambang Kromong, Cokek, busana Kadariyah, Lenong dst dlsb.
Tapi, setelah sekian lama diperlakukan layaknya fosil, “produk kreatif” budaya Betawi seperti apakah yang “lahir” dari rahim Ibu Kota yang lebih kejam dari ibu tiri? Yang paling sukses tentu saja lagu-lagu Gambang Kromong yang dinyanyikan Benyamin S dan Lilis Suryani. Dan lagu-lagu Betawi yang dinyanyikan Benyamin S itu, sebagian besar adalah ciptaan Djoko Subagio yang asli Solo–termasuk lagu Ondel-Ondel dan Tukang Kridit yang sampai sekarang tetap popular.
Di lain waktu, saya ingin berbagi pengalaman selama terlibat dalam “pergulatan kreatif menghidupkan budaya Betawi” bersama Rano Karno, Benyamin S, Mandra, Basuki, Nunung dan sejumlah pekerja budaya lainnya. Sekadar pengalaman sebagai tukang bikin lagu Betawi seperti Pak Gubernur yang dinyanyikan Mandra, juga sebagai penulis scenario Si Doel Anak Sekolahan, Sarana Angkutan Rakyat, hingga Mat Beken yang disutradarai Benyamin dan yang telah “membidani” kelahiran Peggy Melati Sukma.
Menyimak wajah identitas Ibu Kota Baru yang sedang dibangun di Kalimantan Timur, kiranya perlu juga memandang lebih seksama Ibu Kota yang lama warisan Belanda di era Batavia. * Harry Tjahjono