Cerita Pendek HARRY TJAHJONO

Sejak menjanda, Dewi membuang jauh keinginan menikah lagi. Tapi, selain umurnya baru 28 tahun, siapa mampu menolak untuk tidak jatuh cinta? Apalagi Sandra, sobatnya sekantor, tak henti menyemangati Sandra untuk tidak menutup diri terhadap laki-laki. Hampir setiap hari, setiap saat, setiap ngobrol berdua, Sandra selalu saja mendorong Dewi agar menikah lagi.
“Pernah bercerai, bukan berarti kiamat, Dewi. Apalagi yang menginginkan perceraian itu bukan kamu. Apalagi perceraian itu terjadi bukan karena kamu selingkuh, atau karena kamu tidak bisa memehuhi tanggung jawab dan kewajiban sebagai istri, atau karena kamu melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Iya, kan?” kata Sandra.
“Iya, sih…,” sahut Dewi pelan.
“Makanya itu, kamu jangan takut atau merasa malu menikah lagi. Jangan pesimistis atau minder. Kamu mesti yakin bahwa masih banyak laki-laki yang dapat mencintaimu apa adanya. Percayalah, Dewi…, tidak semua laki-laki terobsesi punya istri yang payudaranya montok berisi,” lanjut Sandra.
Ya, ya, ya. Mungkin Sandra benar. Mungkin tidak semua laki-laki terobsesi punya istri yang bentuk payudaranya montok berisi. Tapi, setidaknya Dewi sudah bertemu dengan Sultan, laki-laki yang pernah menjadi suaminya. Setelah enam bulan pacaran, mereka memutuskan untuk menikah. Meskipun keluarganya tidak setuju Sultan tak peduli. Tentu saja Dewi sangat terkesan dan merasa yakin dengan ketulusan cinta Sultan. Tapi, perkawinan Dewi dan Sultan hanya berumur 10 bulan 12 hari. Bahkan sejak malam pertama setelah bersanding di pelaminan, bisa dibilang perkawinan Dewi dan Sultan sudah hancur berkeping. Penyebabnya, Sultan kecewa dengan bentuk payudara Dewi.
Menjadi janda di usia muda, membuat Dewi kehilangan rasa percaya diri. Tapi, yang paling terasa berat dirasakan Dewi adalah, ia merasa dipermalukan! Betapa tidak? Sampai sekarang masih terbayang ketika Sultan menatap tubuhnya yang tanpa busana dengan pandangan menghina. Bahkan sampai sekarang juga masih jelas terngiang ucapan Sultan yang tidak hanya melukai perasaan Dewi tapi juga menghancurkan harga dirinya.
“Tidur berdua kamu rasanya seperti tidur dengan laki-laki….”
Celakanya, tak hanya sekali dua saja Sultan mengucapkan kata-kata yang bagi Dewi terasa menusuk hati! Setiap hari, setiap mereka sedang atau setelah berhubungan intim, kata-kata itu terucap dari mulut Sultan. Meskipun sudah bercerai, ternyata bukan berarti Dewi terbebas dari kepedihan hati lantaran sekian lama dipermalukan dan dihina!
Selama bertahun-tahun Dewi menyimpan kepedihan hatinya itu sebagai rahasia. Bahkan ayah dan ibunya tidak tahu apa yang sebenarnya dialami Dewi. Kepada Sandra, sobatnya sejak SMP, awalnya Dewi juga tidak berterus-terang. Ketika didesak Sandra, Dewi hanya mengatakan bahwa ia punya masalah dengan payudaranya.
“Kenapa? Ada benjolan? Kanker?” tanya Sandra waktu itu, kaget dan cemas.
Demi menggeleng. “Bukan…, bukan kanker,” sahutnya pelan.
“Lalu kenapa? Masalah kenapa?” desak Sandra.
“Nggak apa-apa, kok. Mungkin aku kurang bisa merawat,” kata Dewi.
Tanpa diminta, keesokan harinya Sandra menyodorkan leaflet sebuah klinik kecantikan kepada Dewi.
“Jangan nggak dibaca ya…, siapa tahu ada manfaatnya,” kata Sandra waktu itu.
Dengan dada berdebar, Dewi membaca leaflet klinik kecantikan yang berisi cara merawat payudara. Di leaflet itu tertulis bahwa perawatan payudara itu terdiri dari Pembersihan Payudara (Breast Cleansing), Pengurutan Payudara (Breast Massage) dan Pemakaian Masker Payudara (Breast Mask).
Breast Cleansing dilakukan dengan cara mengoleskan pembersih secara melingkar pada payudara sampai bagian dada. Setelah itu dibersihkan dengan washlap dengan arah melingkar berikut bagian putingnya. Setelah itu, cairan penyegar yang dituang pada kapas ditepuk-tepukkan perlahan di sekujur payudara dan kemudian diusap-usapkan secara lembut.
Breast Massage bisa dilakukan setiap hari dan terutama sebelum pemakaian masker yang sebaiknya digunakan dua kali seminggu. Sedangkan perawatan Breast Mask caranya juga mudah. Masker yang telah dicarikan, dioleskan pada payudara kecuali puting. Setelah kering, masker dibersihkan dengan washlap yang dicelup air hangat.
Dewi menarik napas dalam-dalam. Apa yang tertulis dalam leaflet itu selain gampang dilakukan memang perlu dilakukan oleh perempuan yang memiliki payudara indah, yang montok berisi. Bagi dirinya, yang payudaranya nyaris rata dengan dada, petunjuk klinik kecantikan itu justru membuatnya semakin sedih dan terluka.
Dan Dewi hanya tersenyum pahit ketika keesokan harinya Sandra bertanya, “Gimana, Wi? Udah kamu coba belum?”
Bagi Dewi, tulisan atau topik pembicaraan tentang payudara hanya membuat hatinya perih. Bahkan Dewi pernah hampir menangis ketika mendengar Gopal, rekan sekantor, menceritakan humor tentang lomba payudara.
“Konon, lomba payudara besar tingkat internasional itu akhirnya dimenangkan tiga perempuan yang mewakili Amerika, Jepang dan Indonesia. Ketika ketua juri meminta juara tiga dari Amerika naik panggung untuk memperlihatkan payudaranya yang sebesar buah kelapa, penonton bertepuk tangan. Begitu pula waktu juara dua dari Jepang naik pentas dan mempertontonkan payudaranya yang sebesar buah semangka, penonton kembali bersorak-sorai…,” kata Gopal.
“Trus, trus…, payudara juara satu sebesar apa?” tanya Dewi penasaran.
“Sabar, dong. Nah, waktu juara satu naik panggung, penonton terdiam. Sebab, tak seperti juara tiga dan dua yang hanya memakai bra, wakil dari Indonesia yang berhasil merebut juara satu itu berbusana lengkap,” kata Gopal.
“Trus, trus…,” Dewi makin penasaran.
“Dengan anggun, juara satu menyembulkan kedua puting payudaranya yang sebesar buah mangga!”
“Ha?! Kok Cuma sebesar mangga, sih?”
“Itu baru putingnya, Sandra! Kamu bayangkan saja, deh! Kalau putingnya saja sebesar mangga, payudaranya kira-kira sebesar apa coba?” kata Gopal sambil ngeloyor pergi.
“Sialan!” serapah Sandra sambil tertawa.
Mereka yang mendengar lelucon Gopal, juga tertawa terpingkal-pingkal. Hanya Dewi yang justru menggigit bibir, menahan kepedihan hati dan berusaha untuk tidak menangis. Bagi orang lain, humor yang diceritakan Gopal itu memang lucu, menggelikan dan bisa membuat tertawa gembira. Tapi, bagi Dewi, lelucon Gopal itu terasa seperti meledek dan menertawakan dirinya.
Lantaran tak sanggup lebih lama lagi merahasiakan kepedihan hati dan terutama karena Sandra terus-menerus menanyakan masalah payudaranya, dua bulan lalu akhirnya Dewi berterus-terang kepada sobatnya. Ketika mendengar pengakuan Dewi, untuk sesaat Sandra terdiam. Kemudian, Sandra memeluk Dewi. Mendekapnya erat-erat, dan membiarkan Dewi menangis dalam pelukannya.
Setelah Dewi berhenti menangis dan mengusap kering airmatanya, Sandra berkata pelan, “Setiap perempuan memang mendambakan punya payudara yang indah. Tapi, punya payudara kecil atau rata dengan dada, tak harus membuatmu menderita, Wi. Tak harus membuatmu memutuskan untuk tidak menikah dan punya anak. Percayalah, masih banyak laki-laki yang bisa mencintaimu apa adanya.”
“Terima kasih, Sandra. Aku percaya apa yang kamu ucapkan itu benar adanya. Tapi…, seandainya kamu menjadi aku, mungkin kamu juga tidak ingin menikah,” kata Dewi.
“Buktinya aku menikah dan punya dua anak!” sahut Sandra.
“Iya, aku tahu. Tapi…, seandainya payudaramu seperti punyaku….”
Sebelum Dewi selesai bicara, Sandra meraih tangan sobatnya kemudian memasukkan ke dalam bra miliknya. Dewi kaget.
“Coba kamu pegang sendiri. Payudaraku juga kecil, juga rata dada, seperti punyamu. Coba pegang dan bandingkan dengan payudaramu,” kata Sandra sambil menekan jemari Dewi pada payudaranya.
Sesaat Dewi kaget. Kemudian, perlahan dirabanya payudara Sandra. Ya, ya, ya, ternyata payudara Sandra tidak lebih besar dari yang ia punya. Mungkin bahkan lebih kecil, lebih rata.
“Kalau perkawinanmu berakhir dengan perceraian, penyebabnya bukanlah karena bentuk payudaramu kecil atau besar. Tapi hanya karena kamu apes, cuman lantaran kamu salah pilih suami. Percayalah, masih banyak laki-laki yang tidak terobsesi dengan payudara montok berisi. Lagipula, kalau kamu hamil, payudaramu secara alamiah juga akan montok berisi. Percayalah. Karena aku pernah mengalaminya. Kalau kamu tidak mau menikah lagi, tentu kamu tidak akan pernah hamil dan merasakan betapa indahnya punya payudara yang montok berisi…,” kata Sandra, sambil mengeluarkan tangan Dewi dari dalam bra-nya. ***