18. BUKIT IMAJINASI
SUASANA pesta kecil ulang tahun itu sederhana dan menyenangkan. Tampak sejumlah lansia membahas kue dan makanan yang tersaji. Beberapa orang memuji dan mengantungi yang disuka. Sementara Bu Susan berdansa dengan Mas Ar, bergeseran di lantai ruangan yang tidak terlalu luas. Mereka saling memegang pinggang, merangkul bahu, hanyut dalam lagu Rain and Tears yang melankolis itu.

Saya melihat Mas Ar beberapa kali menengok ke arah Mbak Dien, dan merasa aman karena saya dan Mas Tom menjaganya. Mas Tom sengaja duduk di depan Mbak Dien yang terus-menerus tersenyum dan memandang berkeliling. Mas Tom berusaha menghalangi pandangannya pada Mas Ar dan Bu Susan yang sedang berdansa. Saya menyaksikan wajah Bu Susan yang tampak bahagia, matanya setengah terpejam, bibirnya seperti garis lurus warna merah muda, tampak mencolok di bawah hidungnya yang mancung itu.
Saya merekam semuanya itu, hal-hal yang berseliweran di arus kenyataan depan mata. Itu membuat saya teringat Nana, istri saya. Nana sering mengatakan bahwa saya ini tukang cerita, yang suka memunguti kisah-kisah tentang apa saja. Mungkin Nana benar. Saya mungkin memang tukang cerita. Saya merekam kenyataan, merangkainya dengan gagasan yang merangkak di perbukitan imajinasi. Saya menemukan kesenangan dengan menjadi tukang cerita. Setiap pukul 04.00 WIB saya bangun, minum kopi, merokok dan mulai menulis cerita. Saya mendisplinkan diri menulis cerita, mengikuti alur yang merangkak di bukit imajinasi. Stroke telah membantu saya menulis dengan satu jari di keyboard handphone. Hanya dengan satu jari, sementara tangan dan kaki kiri saya tidak berfungsi dengan baik. Saya ingin menulis buku. Mungkin beberapa buku hiburan.
Ketika lagu Rain and Tears selesai, Mas Ar memutar piringan hitam Jim Revees. Lalu terdengar lagu He’ll Have to Go. Mas Ar dan Bu Susan berdansa lagi. Satu demi satu lansia yang hadir menyelinap pergi. Lagu romantik itu membuat Mas Ar dan Bu Susan semakin erat bersentuhan. Mata mereka seperti terpejam, entah membayangkan apa.
“Dik…, maaf…, Dien ngantuk. Tolong jagain ya,” kata Mas Tom mengejutkan saya, lalu beranjak bangkit nyamperin Mas Ar.
Saya bergegas menjagai Mbak Dien yang mengantuk. ***