19. REMEH TEMEH
SETELAH mengangguk dan tersenyum pada Bu Susan, Mas Tom menepuk pelan bahu Mas Ar. “Ar…, Dien ngantuk,” kata Mas Tom, tersenyum pada Bu Susan yang melepaskan pegangannya pada pinggang dan bahu Mas Ar.
“Oya? Maaf, Bu Susan…, saya mesti menidurkan Dien,” kata Mas Ar dan bergegas menuju kursi roda istrinya, diikuti Mas Tom.
Bu Susan berdiri mematung, memandangi Mas Ar yang dengan hati-hati mendorong kursi roda keluar ruangan. Mas Tom berjalan mengiringi dan mengangguk pada Bu Susan, “Permisi…”
“Ya…, ya, terima kasih sudah bersedia hadir,” sahut Bu Susan, tersenyum kosong.
Saya juga pamitan. Berjalan tertatih keluar ruang tamu. Mas Tom dan Mas Ar mendorong kursi roda ke arah paviliun dan memasukinya. Saya melangkah ke bawah pohon kecik Manila, duduk di bangku taman dan memandangi ruang tamu. Tampak Bu Susan menatap Mas Ar sampai memasuki paviliun. Berdiri dan kelihatan bingung. Merapikan sisa penganan, berdiri mematung, menarik napas dalam-dalam, kemudian berjalan menuju ke arah saya di bawah pohon sawo kecik. Angin membawa bau wangi badan Bu Susan.
“Boleh duduk di sini?” tanya Bu Susan, menunjuk kursi taman di depan saya.
“Oh silakan…, silakan,” sahut saya, menyilakan dengan takzim.
Bu Susan duduk, mengipasi wajahnya yang sedikit berkeringat. Wangi tubuhnya tercium keras. Wangi yang cukup tajam. Parfum lansia yang, menurut saya, memang terlampau harum.
“Terima kasih sudah hadir di ulang tahun saya. Umur 70 tahun menurut saya sangat spesial. Sayang, anak saya tidak satupun yang datang ikut merayakan. Tapi tidak apa-apa. Saya hanya sedih saja. Untunglah Mas dan Mas Tom hadir. Terima kasih…”
Saya merespon kata-kata Bu Susan dengan anggukan. Kalimat yang saya dengar sebagai keinginan mengeluh sekaligus bersyukur. Kalimat basa-basi, tepatnya.
“Usia Mas berapa?”
“Tujuh puluh satu…,” jawab saya.
“Oya? Mas tampak lebih muda,” kata Bu Susan, entah memuji entah basa-basi.
Saya mengangguk. Saya kira, percakapan selanjutnya akan berlanjut dengan hal remeh temeh yang membosankan. Tapi saya harus mendengarnya untuk bersopan santun.
“Saya 70 tahun, dan sudah kawin cerai empat kali. Hebat, kan?” Bu Susan tertawa. “Mungkin tidak hebat, tapi aib. Ya, sampai umur 70 tahun ini saya menanggungkan hal itu sebagai aib. Menanggungkan cibiran, celaan dan olok-olok. Orang-orang lebih memandang hal itu sebagai kesalahan, sebagai keputusan yang merendahkan moral dan norma susila di masyarakat kita. Banyak lagi kesan negatif yang saya alami. Dan celakanya, di umur setua ini, saya merasa tidak diberi ruang untuk menjelaskannya, tidak dikasih tempat untuk membela diri. Karena orang terbiasa menganggap orang tua, lansia, tidak patut bicara soal seks, atau tentang cinta.”
Saya terdiam. Di keteduhan pohon sawo kecik Manila ini, dilintas angin yang berlarian menyeberangi tikungan jalan, percakapan remeh temeh itu sepertinya menarik. Dan saya bersiap mendengarkannya. ***