Oleh : Herman Wijaya
Kemarin, pasca demonstrasi massa di depan Gedung DPR RI — juga di kota-kota lain di Indonesia — di media sosial, terutama di halaman FB diramaikan dengan status, artikel yang berisi pro / kontra dengan demo tersebut. Pro / kontra juga terjadi di antara teman-teman saya jurnalis yang biasa menulis di FB. Tidak sedikit pula yang menyerang dan mengalami serangan dari dan terhadap pihak yang berseberangan. Tetapi bukan dari dan oleh sesama teman. Kita Indonesia!
Secara pribadi, saya menyesalkan serangan-serangan yang ditujukan terhadap pribadi orang yang berbeda pendapat. Lawan pendapatnya, bukan menyerang pribadinya.
Buat saya, bagaimana pun kita adalah teman, atau setidaknya sebangsa dan senegara. Mungkin kita akan ketemu lagi dalam kesempatan berbeda dengan sikap asyik-asyik aja. Bisa jalan bareng, ngopi bareng, makan bareng, dan mungkin kerja bareng. Yang perlu dipahami, lawan kita bukanlah teman yang berbeda pendapat, melainkan penguasa yang tengah memimpin bangsa ini. Boleh saja yang pro mengatakan pemerintah saat ini sudah on the track, karena hasil pembangunan terlihat jelas di mana-mana, tetapi yang pendapat yang kontra juga tidak bisa disalahkan, karena saat ini hukum, bahkan konstitusi sedang dipermainkan atau dikendalikan untuk kepentingan lingkaran kekuasaan sendiri.
Saya tidak sependapat dengan teman yang mengatakan Indonesia sedang baik-baik saja, dan demonstrasi mahasiswa digerakkan oleh Partai politik yang kalah. Dengan cara apa menggerakannya? Kan itu parpol yang kalah, tidak punya sumber daya untuk menggerakkan massa, khususnya mahasiswa, di berbagai kota besar di Indonesia. Lain halnya dengan penguasa yang bisa membagikan bansos atau gula-gula lainnya. Jadi tidak bisa disimpulkan kalau anggota partai itu menemui mahasiswa dalam demo kemarin dikatakan sebagai “Tumbu ketemu tutup”. Kesimpulan itu menghina kecerdasan mahasiswa. Bahwa ada anggota parpol yang kalah memanfaatkan momentum itu untuk cari muka, saya setuju!
Saya berada di tengah-tengah demonstran yang terkena gas air mata dan terluka tubuhnya, saat demo di depan Gedung DPR, dua hari lalu. Dalam keadaan terluka, mereka membeli air mineral untuk membasuh mukanya, tidak punya uang. Di Stasiun Karet seorang pemuda, nampaknya mahasiswa, mengaku tak punya ongkos pulang. Itu saya dengar ketika menguping omongannya. Mereka datang ke gedung DPR hanya bermodal semangat. Mereka tidak peduli dengan rasa haus, lapar, terluka atau terancam nyawa mereka. Ingat, terjadinya reformasi tahun 1998 di Indonesia terbesar adalah karena andil mahasiswa, bukan politisi seperti Amien Rais atau mereka yang mengaku-ngaku jadi tokoh reformasi.
Saya yakin mayoritas pendemo bukanlah orang-orang yang digerakkan pihak luar, atau demonstran nasi bungkus. Hati nuranilah yang menggerakkan mereka untuk turun ke jalan, setelah saluran resmi suara mereka — DPR — menyumbat suara mereka dan hanya menyuarakan kepentingan tertentu. Coba renungkan: keputusan MK yang final dan mengikat, coba dimentahkan oleh perancang RUU Pilkada yang diadakan dalam tempo sehari!
Dalam prosesnya, jangankan suara publik yang seharusnya didengar dalam proses pembuatan Undang-Undang, suara Anggota Baleg yang berbeda saja tidak diberi kesempatan. Yang menonton siaran langsung Rapat Baleg DPR pasti bisa menilainya.
Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji UU yang bertentangan dengan UUD 45, melihat hak Konstitusi rakyat coba dipasung oleh penguasa dan elite politik, dengan membentuk KIM Plus dengan tujuan menutup peluang calon kepala daerah lain. Rakyat dibiarkan tidak punya pilihan, dengan mematok aturan sesuai undang-undang yang akan dirancangnya.
Memang ketentuan hak mencalonkan Kepala Daerah sudah ada dalam UU sebelumnya. Tetapi ketika penguasa dan partai-partai berkomplot menutup peluang calon pemimpin yang dikehendaki rakyat, MK harus mengambil keputusan untuk memecah kebuntuan. Itulah yang dilakukan MK dengan mengabulkan permohonan Uji Materi dari Partai Buruh dan Partai Gelora. Hasilnya sesuai dengan keinginan masyarakat. Si balil, eh bahlul pasti akan berkata, “Rakyat yang mana?”
Dalam bidang ekonomi, masyarakat juga sedang mengalami tekanan. Harga-harga terus naik. Beras yang tahun lalu masih bisa dibeli dengan harga Rp.8000,- kini sudah mencapai Rp.15.000,-. Belum harga-harga lainnya. Pengangguran di mana-mana karena banyak industri, mal dan pusat perbelanjaan lainnya yang tutup, pertanian tidak menjanjikan, tanah-tanah dan sumber daya mineral dikuasai oligarki, sementara peluang kerja di sektor formal sangat sedikit. Orang boleh mengatakan banyak pekerjaan asal rajin. Tapi faktanya tidak semudah itu.
Sebagai negara agraris, ternyata kita juga jadi importir bahan pangan yang sangat besar. Bendungan yang katanya dibuat untuk meningkatkan pertanian, belum terlihat signifikan hasilnya? Jalan Tol, Bandara atau infrastruktur lainnya yang dijanjikan bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi, juga belum memperlihatkan hasil sesuai yang dijanjikan. Yang terjadi justru hilangnya jutaan lahan pertanian, dan bertambah pengangguran di jalan-jalan konvensional yang digantikan fungsinya dengan jalan Tol. Pedagang-pedagang pinggir jalan yang dulu dapat rejeki dari keramaian lalu lintas, langsung bangkrut. Sedangkan rest area, selain terlalu sempit untuk menampung mereka yang kehilangan tempat usaha, bukan tempat menjanjikan.
Ada yang menyebutkan jalan tol, kereta cepat atau bandara itu memang baru efektif dan berdampak untuk 20 – 30 ke depan. Lah terus kita yang hidup sekarang atau anak-anak yang lahir sekarang mau diapain? Apalagi ada pembangunan Jalan tol atau Bandara yang dipaksakan. Setelah jadi pemanfaatannya tidak maksimal.
Saya setuju jalan tol, Bandara, kereta cepat, ibukota baru dibangun. Tetapi dengan pertimbangan, perekonomian negara sedang stabil. Tidak mengandalkan utang. Kalau pun utang, mengapa anggaran yang ada tidak diprioritaskan dulu untuk memperkuat ketahanan pangan, dengan memperbaiki pertanian; membangun sektor-sektor yang bisa menggerakkan rakyat untuk bekerja atau menggerakkan perekonomian. Bukan membangun untuk kepentingan legacy dan mercusuar. Apalagi modalnya dari pinjaman luar negeri.
Sebagian orang yang tengah menikmati kehidupan, pasti mengatakan negara sedang baik-baik saja. Tapi lihat mereka yang sedang tidak punya pekerjaan; yang hidup hanya mengandalkan bansos atau bahkan tidak ada sumber pemasukan sama sekali. Buntu. Pengamen, tukang parkir, Pak Ogah, anggota ormas, bahkan wartawan dengan berbagai jenisnya tambah banyak, menandakan rakyat sulit mendapatkan pekerjaan. Dan yang menyedihkan, penguasa dan politisi dengan dingin merekayasa hukum dan konstitusi demi melanggengkan dan memperluas kekuasaan, yang pada gilirannya menguasai sumber daya alam yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ini yang disebut negara sedang baik-baik saja?