Defacto – Seniman serba bisa Remy Sylado yang telah kembali ke pangkuan penciptanya, meninggalkan begitu banyak karya yang masih bisa dinikmati oleh masyarakat sampai saat ini. Yakni berupa novel-novel berkualitas, puisi, lukisan, lagu, patung dan naskah drama.
Salah satu naskah drama seninan mbeling bernama Jubal Anak Perang Immanuel (JAPI) Tambayong itu, yang berjudul “Tampang Kampung Rezeki Kota” (TKRK), dipentaskan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) pada Rabu (15/3/2023) malam oleh Dapur Teater Remy Sylado, dengan sutradara Jose Rizal Manua.
TKRK yang diilhami dari cerita karangan Eley Mitchell, “A Husvand for Breakfast”
berkisah tentang seorang Johan Alexander Frederik Kumontoy, yang sangat takut pada isterinya Siti Saleha Binti Majenun.
Johan pulang subuh setelah mabuk-mabukan di kafe Nyai Astuti, piaraan Belanda, menghabiskan berbotol-botol bir dengan uang yang dipinjamnya dari Usman Sani dengan menjadikan isterinya sebagai borg (jaminan) atau agunan.
Semua itu dilakukan Johan hanya untuk memenuhi tantangan Nyai Astuti, karena kalau dia bisa minum lebih dari sepuluh botol bir dia tidak usah bayar dan semua hutangnya dinyatakan lunas.
Namun ternyata Johan hanya mampu 9 botol. Usman Sani mau menerima Siti sebagai borg itu disaksikan oleh Euis Sabariah, Tejo Lukito, Brury Siwabessy, teman-temannya minum di kafe, dalam menyambut tahun baru 1930, yang menurut kalender Cina disebut kalender Kuda.
Awalnya Siti Salrha binti Majenun marah dijadikan agunan oleh suaminya, namun kemudian dia malah kagum pada suaminya setelah berhasil memeras Usman Sani yang harus memberi ayam, bebek, kambing, sapi, dan beberapa karung beras, karena Usman Sani menghina dan menolak menjadi suaminya.
Apa yang diminta siti adalah hasil dorongan Euis Sabariah pemilik rumah kontrakan yang ditempati Siti, Tejo Lukito dan didukung oleh Nyai Astuti.
Diakhir cerita Siti harus berurusan dengan polisi atas laporan Usman Sani.
Satire
Sebagaimana umumnya karya-karya Remy Sylado, TKRK bermuatan satire kehidupan yang bisa dijadikan cermin bagi masyarakat kebanyakan. Karya-karya Remy mengajak kita untuk jujur dan berani menertawai diri sendiri, di tengah absurditas kehidupan yang membuat masyarakat terobang-ambing, lalu melarikan diri ke dalam gaya hidup penuh kemunafikan.
Sutradara Jose Rizal yang kerap membawakan sajak-sajak satire jenaka yang dilagukan, nampaknya paham betul dengan naskah Remy Sylado. Sehingga naskah almarhum menjadi hidup, menggelitik dan menghibur, tanpa meninggalkan substansi cerita.
Adapun Remy Sylado sendiri semasa hidupnya dikenal sebagai seniman dan budayawan produktif.
Menurut Jose Rizal Manua, dia adalah Munsyi mbeling, yang menguasai retorika dan bahasa langka. Remy menguasai
bahasa Ibrani, Yunani, Arab dan tentu saja Bahasa Belanda.
Remy Sylado memiliki beberapa nama samaran: Dova Zila. Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda.
Meski pun beragama Kristen Katolik
Dia fasih membaca tulisan Arab Gundul
Dan khatam Al Qur’an di usia 14 tahun
Dan masih hafal hingga hari ini.
Kaligrafi Arabnya sangat mempesona.
Dia bisa menulis indah tidak hanya dari kanan ke kiri, tapi juga dari kiri ke kanan.
“Ya, dia adalah Munsyi yang Mbeling!
Kalau dia menulis puisi, puisinya mbeling.
Kalau dia menulis cerpen, cerpennya mbeling. Kalau dia menulis novel, novelnya mbeling. Kalau dia menulis lakon, lakonnya mbeling. Kalau dia menulis skenario, skenarionya mbeling. Kalau dia menulis syair lagu, syair lagunya mbeling.
Kalau dia menulis kritik, kritiknya mbeling.
Kalau dia main musik, musiknya mbeling.
Kalau dia melukis, lukisannya mbeling.
Kalau dia menyutradarai, penyutradaraannya mbeling.
Ya, dia adalah Munsyi Yang Mbeling!
Karenanya selalu bikin kejutan
Dalam berbagai pementasan
Dalam berbagai seminar
Dengan mengusung hal-hal baru
Berdasarkan riset yang mendalam
Tentang berbagai masalah bahasa, seni dan budaya.
Banyak buku yang telah ditulisnya.
Diantaranya; Orexas, Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Ca-Bau-Kan, Kerudung Merah Kirmizi, Kembang Jepun, Parijs van Java, Menunggu Matahari Melbourne, Sam Po Kong, Puisi Mbeling, Rumahku di Atas Bukit, Dramaturgi, 9 dari 10 Bahasa Indonesia adalah Asing, Drama Musikalisasi Tarragon “Born To Win”, Novel Diponegoro, 9 Oktober 1740, 123 Ayat tentang Seni, Drama Sejarah 1832
(Kisah Diponegoro di Pembuangan Manado).
Selain itu masih ada Sandiwara Nyanyi,
Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Bombay, Kamus Isme-isme, dan
Perempuan itu Bernama Arjuna.
Banyak pengharhaan yang telah diterimanya. Di antaranya;
Khatulistiwa Literary Award, Yayasan Penghargaan Indonesia untuk Bidang Pelestarian Musik Etnik, Penghargaan Pemecah Rekor Karya Puisi Paling Tebal
Dari Museum Rekor Indonesia (MURI)
Piagam Apresiasi PAPRI Wakil Presiden untuk Kritik Musik, Braga Award dari Gubernur Jawa barat, untuk Bidang Teater
Penghargaan Tirto Adhi Soerjo, dan
Press Number One dari Masyarakat Pers Indonesia.
“Ya, dialah Munsyi yang Mbeling.
Pertama kali aku mengenalnya di Jakarta
Dalam pertemuan di sebuah sanggar teater
Pimpinan Rendra Karno dan Bachtiar Ginting di Jalan Salemba Raya, di tahun 1972. Warna putih mendominasi penampilannya. Rambutnya panjang tergerai, penuh karisma. Bagiku dia adalah kamus yang berjalan! Kalau kita bertanya, sepertinya hampir tidak ada yang tidak dia ketahui,” papar Jose Rizal dalam tulisan yang dibuatnya seperti puisi. (hw)