Defacto – Jakarta merupakan satu-satu kota megapolitan di Indonesia. Sebagai ibukota negara, selama pukuhan tahun konsentrasi pembangunan dipusatkan di Jakarta.


Gedung-gedung pencakar langit, mal-mal besar, hunian mewah dan infrastruktur yang terus ditambah setiap tahun, membuat Jakarta berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia.
Namun pembangunan Jakarta menjadi daya tarik masyarakat berbagai daerah untuk datang. Urbanisasi sangat deras.
Akibatnya Jakarta menjadi over populasi.
Di balik gemerlapnya gedung-gedung bertingkat di pusat kota, masih banyak kampung-kampung padat yang kumuh, dengan penghuni berdesakan di rumah-rumah petak seadanya.
Jakarta dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Gap antara si kaya dengan si miskin sangat nyata. Kita bisa melihat orang kaya berseliweran dengan mobil mewah; makan / minum dan belanja di mal mewah; tetapi sangat mudah melihat pekerja kasar, pengamen dan pengemis di jalan-jalan. Ketimpangan sosial sangat nyata di Jakarta.
Kondisi itulah yang dipotret oleh budayawan terkenal WS Rendra dalam naskah “Bunga Semerah Darah”. Naskah ini dibuat untuk teater film, dan sudah dibukukan. Naskah itu dibuat jauh sebelum WS Rendra dikenal sebagai dramawan / budayawan besar yang diakui eksistensinya. Ada yang menyebut naskah itu dibuat tahun 50-an, ketika WS Rendra masih SMP.
Rupanya sejak muda Rendra sudah jeli melihat kondisi sosial masyarakat Indonesia. Tema cerita dalam “Bunga Semerah Darah” tetap relevan hingga kini.
Ketimpangan kaya / miskin dengan segala problematiknya di kota besar seperti Jakarta, selalu ada.
WS Rendra piawai merangkai kata untuk menggambarkan satire kehidupan. Ketimpangan antara kaya dan miskin.
Maka ketika sutradara Iwan Burnani Toni (71 tahun) mengangkatnya ke dalam film, problematik sosial yang diangkat WS Rendra dalam “Cinta Semerah Darah” tidak terlalu sulit diterjemahkan. Iwan Burnani adalah anggota senior Bengkel Teater WS Rendra.
“Tentu saja saya perlu menyesuaikan dengan setting yang ada. Dialog-dialognya juga disesuaikan,” kata Iwan Burnani, menjelang pemutaran film “Cinta Semerah Darah” di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Jum’at (11/11/2022) sore.
Untuk filmnya ini Iwan mengambil set lokasi di dua tempat berbeda. Pertama di perkampungan kumuh di Jakarta Barat, untuk menggambarkan lingkungan sosial tempat tokoh Sumirah bersama suami dan anaknya berdomisili, lalu panggung Teater Kecil sebagai kontrakan tempat tinggal Sumirah. Maka jangan heran jika kamera mengambil dari angle berbeda, akan nampak kursi-kursi penonton. Itulah konsep teater-film menurut Iwan Burnani.
Genre Teater-Film , yang menggabungkan antara teater dan film adalah hal
yang relatif baru di Indonesia. Bagi produser film berorientasi bisnis, genre ini tentu membuat mereka sulit tidur jika harus membuat film sepeti itu.
Akan banyak pertanyaan muncul dalam benak mereka: akan seperti apa hasilnya? Apakah pihak XXI mau memberikan jadwal? Apakah penonton bisa menerima?
Biasanya setelah bertanya-tanya begitu produser akan menolak konsep yang disodorkan.
Para pemain sendiri, seperti Tio Pakusadewo, Vonny Anggraini, Widi Dwinanda, mengaku bingung ketika ditawari main dalam film itu. Tetapi nama besar WS Rendra yang membuat mereka, terutama Tio Pakusadewo tak bisa menolak. Selain mereka bertiga, film ini juga dibintangi oleh Maudy Koesnaedi, Eddi Karsito dan beberapa pemain lainnya.
Beruntung Iwan Burnani dibantu oleh Djarum Foundation untuk pembiayaan, sehingga ia hanya perlu berkonsentrasi untuk berkarya. Djarum Foundation hanya meminta agar film tersebut diputar di kanal youtube Galeri Indonesia Kaya milik Djarum Foundation. Film ini sendiri dibuat dengan format layar lebar.
“Setelah diputar di youtube galeriindonesiakaya selama dua bulan, film itu bebas diputar dimana saja. Kalau bioskop tidak mau, gua akan putar keliling, ke kampus-kampus,” tandas Iwan.
Memang tidak mudah menerjemahkan naskah film-teater ke dalam bahasa visual. Nampaknya keterbatasan dana selalu menjadi kendala sineas untuk menggulirkan plot ke dalam gambar. Akibatnya banyak plot-plot yang diselesaikan secara verbal. Ini memang terasa menjemukan.
Tetapi itulah problem film Indonesia yang sulit dipecahkan dari tahun ke tahun. Antara kreativitas, modal dan pasar, ibarat benang kusut yang sulit diurai. hw