Oleh : Laksamana Sukardi
Seperti dalam syair lagu Bengawan Solo; “Air mengalir sampai jauh!” belakangan ini PPATK menyatakan adanya aliran dana mencurigakan di Departemen Keuangan, khususnya
di Direktorat Pajak dan Bea Cukai. Jumlahnya sangat mencengangkan, Rp 500 trilyun!
Aliran dana tersebut tidak hanya mengalir sampai jauh, juga mengalir ke kiri, ke kanan dan ke atas.
Bedanya, aliran air tunduk kepada hukum grafitasi, aliran dana tidak, karena banyak yang mengalir ke atas. Meskipun ada persamaannya, yakni keduanya mengalir melalui saluran yang bercabang-cabang.
Aliran dana mengalir melalui jaringan saluran yang ada. Tidak mungkin jaringan alam seperti
Bengawan Solo, melainkan melalui jaringan saluran yang dibuat oleh para pengusaha bersama-sama para penguasa.
Misalnya dalam kasus Irjen Pol. Sambo yang konon memiliki kerajaan judi online dengan
omzet Rp300 trilyun, dan kasus perdagangan narkoba Irjen Polisi Teddy Minahasa Putra.
Dalam kasus narkoba Teddy Minahasa ada pengakuan dibawah sumpah seorang saksi bernana Linda Pudjiastuti yang menjelaskan proses keterlibatannya. Pengakuan dan ceritanya di pengadilan
mengingatkan kita pada cerita yang hanya ada dalam film film mafia, tentang peredaran narkoba yang
melibatkan polisi.
Dalam kasus-kasus korupsi sebelumnya yang merugikan negara, yaitu kasus Bank Century dan Proyek Hambalang, ditambah dengan penjarahan dana jaminan sosial Asuransi Jiwasraya
dan ASABRI serta skema ponzi dibidang koperasi oleh Koperasi Indo Surya.
Sumbangan korupsinya juga sangat luar biasa. Jika ditotal mencapai ratusan trilyun rupiah. PPATK
mengklaim ada sekitar Rp500 trilyun yang sama dengan kasus Indosurya di ranah koperasi.
Pertambangan liar (corridor mining) juga sangat merugikan negara.
Aliran dana mengalir dengan deras karena telah terbentuknya saluran saluran untuk mengalirkannya, yang menurut PPATK merupakan aliran dana yang sangat mencurigakan.
Saluran tersebut terjaga aman dan dibangun bersama oleh para oligarki, pengusaha, pejabat
negara, birokrat dan tentunya para elit politik serta para penegak hukum. Hanya saluran kebawah
untuk rakyat yang mampet dan sulit untuk mendapatkan aliran dana bagi kesejahteraan.
Saat krisis ekonomi tahun 1998, Indonesia mengalami kebangkrutan total. Para oligarki zaman
Orde Baru tersungkur bersama elite politik Orde Baru. IMF terpaksa diundang hanya untuk menjamin kepercayaan pada para pelaku usaha dan investor internasional. Pada waktu itu penerimaan pada APBN boleh dibilang hampir tidak ada. Bahkan Pertamina tidak dapat
melakukan impor minyak karena tidak dipercaya oleh perbankan internasional.
Reformasi 1998 telah berhasil menghancurkan sistim saluran aliran dana Kolusi Korupsi dan
Nepotisme yang dikenal dengan KKN. Saluran saluran tersebut hanya dapat dibangun oleh
kerjasama semua pihak seperti yang disebutkan diatas, yaitu para oligarki, penguasa, elit politik, birokrat dan para penegak hukum. Sebuah simbiose mutualisme yan sempurna!
Jika satu pihak tidak mau bekerja sama, maka mustahil saluran tersebut dapat terbentuk dengan langgeng.
Dalam bidang hukum pun masih terjadi perbedaan pengertian antara kasus pidana dan kasus perdata yang sangat mendasar. Pada kasus Koperasi Indo Surya contohnya, hakim memutuskan sebagai kasus perdata dan membebaskan terdawa dari tuduhan tindak pidana.
Sementara itu Menkopolhukam dan para ahli lainnya mengatakan
sebagai kasus pidana korupsi. Salah tafsir hukum telah melengkapi kerjasama pelestarian aliran dana mencurigakan ratusan triliun.
Reformasi telah dibajak dan secara sistimatis. Nasib generasi milineal dan generasi Z yang jumlahnya sangat besar sebagai bonus demografi yang dibanggakan oleh para pejabat tinggi Indonesia, akan memiliki masa depan yang suram karena mengalami salah asuh.
Oleh karena itu tidak heran jika hingar bingar politik menjelang pemilu 2024, para elit hanya
terfokus dalam memilih siapa calon pengusaha baru. Tidak ada bahasan mengenai bagaimana menutup dan menghancurkan saluran saluran aliran dana mencurigakan tersebut.
Oligarki telah nyaman bersama elit politik yang menutupi dan melindungi aliran dana yang mengalir ke atas, ke kiri dan ke kanan, tetapi tidak ke bawah untuk rakyat.
Oleh karena itu, pemilu 2024 harus dijadikan gerakan reformasi damai dengan menggunakan hak
kedaulatan seluruh rakyat Indonesia, terutama generasi muda untuk menghentikan kerjasama
pelestarian saluran aliran dana korupsi ratusan trilyunan rupiah dan sekali lagi mengamankan
ekonomi dan keamanan negara dari kehancuran seperti tahun 1998 yang lalu.
Bagi para penegak hukum, utamanya Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi,
kasus aliran dana ratusan trilyun yang mencurigakan di Direktorat Pajak dan Bea Cukai, seperti
yang dikonfirmasi oleh PPATK dan Menko Polhukkam, merupakan kesmpatan untuk upaya “cuci darah” karena kasus tersebut sudah pasti melibatkan banyak pengusaha yang bekerja sama dengan para pejabat.
Jangan seperti mega kasus yang telah terjadi, “cuci darah” hanya terjadi pada tingkat pejabat
rendah yang telah dikorbankan, sementara Don Corleone atau Boss Mafia tidak dapat disentuh.
Bung Karno pernah mengatakan, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri.”
Pernyataan tersebut menjadi sangat relevan pada saat ini, karena masih ada pemimpin yang berkuasa melakukan kriminalisasi kepada anak bangsa yang tidak bersalah dan melakukan perlindungan hukum kepada koruptor demi nafsu birahi kekuasaan semata.
Walaupun sulit, Bung Karno tidak mengatakan mustahil. Rakyat Indonesia adalah rakyat yang
memiliki kedaulatan untuk melakukan perubahan secara damai melalui proses demokrasi, yaitu pemilu lima tahunan. Mari kita ubah, sebelum kita diubah bangsa lain!