DeFacto – Hari menjelang sore, Hanandjoedin dan anak buahnya masih sibuk memperbaiki beberapa pesawat di hanggar pangkalan Boegis, Malang, Jaw Timur.
Komodor Muda Adi Soetjipto masih menunggu situasi aman untuk melakukan rencananya, ya, sang komodor berencana membawa kabur pesawat bekas pembom Jepang berjenis Recojunana, yang berhasil diperbaiki anak-anak teknik di pangkalan udara Bugis Malang yang diberi nama Pangeran Diponegoro 2.
Baru Kemarin komodor itu sampai di Malang, lalu menghadap Panglima Devisi Untung Suropati membahas alih Pangkalan udara dari TKR (Daratt) ke TKR OEDARA namun pembicaraan masih buntu.
Panglima Devisi Untung Suropati masih bersikeras mempertahankan Pangkalan Udara Bugis adalah wilayah kekuasan divisi mereka. Sudah bolak balik Komodor Adi Soetjipto ke Malang membicarakan ini tapi masih nihil.
Komodor muda itu lalu beristirahat di hanggar tehnik lapangan udara itu sembari melihat para tehnisi pesawat bekerja memperbaiki pesawat.
Lalu oleh Bung Anan panggilan Hanandjoedin, Adi Sotjipto di minta menerbangkan pesawat Pangeran Diponegoro 2 ini. Meski belum pernah terbang dengan pesawat jenis itu namun karena ia pilot handal berhasil juga ia menerbangkan pesawat itu.
Saat mendarat dan rehat, Komodor Udara Adi Soetjipto memikirkan ide bagaimana jika pesawat eks pembom Jepang itu dibawa ke Jogja, agar bisa digunakan optimal dari pada hanya ditaruh di hanggar saja.
Setelah dilihat suasana agak lengang, sang Komodor mendekati letnan Hanandjoedin.
“Bung Anan, bisakah saya bicara empat mata dengan tuan?”, bisik Adi Sotjipto pada Letnan Hanandjoedin.
“Baik Pak, kita bicara di ruang saya saja”, jawab Bung Anan sembari mengajak Komodor itu masuk ke ruang kantor teknik Pangkalan Bugis.
Komodor Adi Sotjipto lantas mengutarakan rencananya membawa Pesawat Pangeran Diponegoro II ke Jogjakarta.
“Ketimbang cuma nongkrong di sini, akan lebih banyak manfaatnya untuk perjuangan bangsa bila pesawat ini berada di Jogiakarta. Bagaimana pendapat tuan?” ungkap Sotjipto seraya bertanya Bung Anan.
Bung Anan terdiam sejenak. Dia berpikir lama. Pendapat Adi Soetjipto, orang ketiga di TKR Oedara saat itu, ada benarnya juga.
Sejauh ini di Malang kesulitan penerbang jika menguji pesawat, mereka hanya mengandalkan Atmo, lalu bila Atmo pulang ke negaranya otomatis tak ada penerbang lagi.
Jadi percuma ada pesawat tanpa penerbang. Namun demikian, bila sampai pesawat ini dibawa ke Jogja tanpa persetujuan pihak divisi VII akan menimbulkan masalah baginya, bisa-bisa ia dipecat.
Panglima Divisi Untung Suropati akan marah tentu jika pesawat itu dibawa tanpa ijinnya. Tapi Hanandjoedin berpikir gagasan komodor udara Adi Soetjipto benar, toh pesawat ini dulu pesanan seorang anggota KNIP-Jogja namun sang pemesan tak ada kabar lagi.
“Baik pak, kalau Lebih besar untuk kepentingan negara, saya akan ikut mengantar pesawat ini ke Jogja!” ucap Hanandjoedin dengan mantap.
Rencana disusun, pesawat akan dibawa kabur besok pagi-pagi. Mereka akan berangkat ke Jogja dengan membawa serta beberapa teknisi.
Keesokan hari tanggal 5 Agustus 1946, Pesawat bekas Jepang sukses mendarat di Maguwo dipiloti Adi Soetjipto dan Hanandjoedin ikut sebagai teknisi pesawat.
Awalnya keberadaan pesawat itu belum menimbulkan masalah bagi Hanandjoedin, sampai tanggal 7 Agustus 1946 siang tiba-tiba Komodor Muda Udara Adi Soetjipto menghampiri Letnan Hanandjoedin.
Rupanya sang Komodor membawa berita radiogram dari Divisi VII Untung Suropati yang isinya agar kepala teknik pangkalan udara Bugis Malang, Hanandjoedin, kembali ke Malang untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya, yakni membawa kabur pesawat tanpa seijin Panglima Divisi.
Agaknya dengan dibawa kaburnya pesawat Pangeran Diponegoro 2 tanggal 5 Agustus 1946 lalu membuat Devisi VII marah dan meminta Hanandjoedin bertanggung jawab. Hanandjoedin sudah siap dengan risiko itu.
Komodor Adi Soetjipto manatap pada Letnan Hanandjoedin dan berucap, “tuan berada dipihak kita, sebab kita berani berbuat ini demi untuk negara!” seraya memegang pundak Hanandjoedin yang hanya diam memikirkan apa yang harus ia jawab pada komandan Divisi VII nanti.
Maka Bung Anan kembali ke Malang diantar pesawat Curen dan saat turun dari pesawat langsung ditangkap polisi tentara, lalu selama beberapa hari Letnan Hanandjoedin ditahan di sel atas pelanggaran disiplin.
Saat diintrograsi siapa yang punya ide melarikan pesawat itu, sang letnan mantap menjawab bahwa itu semua atas inisiatif dirinya! Berkali ditanya jawabannya tetap sama.
Dalam pikiran letnan Hanandjoedin ia tak mau membuat keruh suasana dengan menyebut bahwa ide membawa kabur pesawat itu adalah gagasan Komodor Muda Udara Adi Soetjipto.
Namun Letnan Hanandjoedin bangga bahwa pesawat yang ia bawa “kabur” dari Malang ke Jogja sangat berguna bagi perjuangan.
Ia mendapat kabar bahwa pesawat itu digunakan oleh para kadet yang sedang belajar terbang di lapangan terbang Maguwo. Bahkan digunakan oleh para pejabat untuk perjuangan Indonesia Merdeka.
Sumber:
Buku Sang Elang H. AS. HANANDJOEDIN
Di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI
Karya Bang Haril Andersen
*Beny Rusmawan
- Nama Agustinus Adi Soetjipto diabadikan menjadi nama Bandara di Jogjakarta.
- Hanandjuddin dihormati sebagai nama bandara di Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.