DeFACTO.id — Kasus Subang, atawa pembunuhan Tuti Suhartini dan Amalia Mustikaratu, – yang mayatnya ditemukan bertumpuk di bagasi Alphard milik mereka – di pekarangan rumah, Dusun Ciseuti, kawasan Jalan Cagak, Subang (18 Agustus 2021) hingga kini (22 November 2021) belum terungkap juga.
![](https://via.placeholder.com/728x90/cccccc/ffffff.png?text=Put Your Ad Here)
Tak mengherankan jika masyarakat heran, geram dan bertanya-tanya: apakah si pelaku pembunuhan sedemikian pinter dan profesional dalam menjalankan aksinya – sehingga jejaknya begitu bersih tak terlacak?
Atau begitu pinternyakah “oknum” polisi merekayasa dan mengaduk-aduk petunjuk dan temuan di TKP – saat dilakukan pemeriksaan awal oleh Polres Subang?
![](https://defacto.id/wp-content/uploads/2021/11/subang-1.jpg)
Prasangka buruk ini terpaksa mencuat karena dalam pemeriksaan lanjutan oleh Poda Jabar juga Reskrim Polri ada temuan tentang oknum polisi (kemudian disebut banpol) yang menerobos policy line dan menghilangkan barang bukti dengan memanfaatkan keluguan Danu, salah seorang saksi kunci.
Bosan menunggu perkembangan, sambil merasa kagum melihat para youstuber mengeksplorasi kasus ini, ingatan saya jauh melayang pada cerita buruknya wajah penegakan hukum di Indonesia.
Pada tahun 1970-an, seorang gadis penjual telur bernama Sumaridjen (17) diperkosa beberapa orang pemuda bermobil.
Dalam penyelidikan polisi Yogyakarta, di mana kasus ini terjadi, – alih-alih si gadis malang ini mendapat perlindungan dan keadilan, ia malah dituduh menyebarkan cerita bohong, fitnah, maling teriak maling dan diperkarakan karena dituduh sebagai simpatisan Gerwani, PKI, dan seterusnya.
Belakangan terkuak fakta bahwa peristiwa yang kemudian terkenal dengan “Kasus Sum Kuning” itu pelakunya ternyata anak-anak orang gedean di Yogyakarta.
Hingga saat ini, setahu saya, kasus Sum Kuning tak terungkap – karena adanya konspirasi antara pemerintah (Orde Baru), penggede dan kepolisian Yogyakarta. Konon karena kasus ini, Hoegeng Imam Santoso, jenderal polisi yang jujur itu, mundur (dimundurkan) dari jabatannya sebagai kapolri.
Lagi, pada sekitar tahun 1999 ada Kasus Udin, yaitu Fuat Muhammad Syafruddin (32), wartawan koran Bernas di Yogyakarta “dihabisi” orang tak dikenal gegara berita yang ditulisnya.
![](https://defacto.id/wp-content/uploads/2021/11/subang-2.jpg)
Berita apa? Udin mengungkap kasus suap yang dilakukan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo (tentara berpangkat kolonel) – untuk Yayasan Dharmais, yang dikelola (mantan presiden) Soeharto. Suap dilakukan agar dirinya terpilih kembali menjadi bupati Bantul periode 1996 – 2001.
Atas kasus suap itu sendiri, Bupati Sri Roso divonis penjara 9 bulan pada tahun 1999. Namun, untuk kasus pembunuhan Udin sendiri, polisi bermain-main, menyesatkan, menghilangkan barang bukti, dlsb, – dan hingga kini Kasus Udin, setahu saya, masih jadi misteri.
Dari dua kasus itu saya lihat, sulitnya polisi mengungkap suatu peristiwa kriminal karena “ulah” oknum polisi sendiri – yang alih-alih menyelidiki kejadian sesungguhnya malah ingin mengaburkannya dengan berbagai alasan.
Apakah belum terungkapnya kasus pembunuhan Tuti dan Amel karena asli kinerja polisi yang belum canggih atau karena ada oknum polisi yang sengaja mengaburkannya, – Inilah tampaknya yang perlu kita amati dan kawal bersama. Janganlah sejarah buruk penegakan hukum pada zaman yang sudah serba terbuka terulang lagi.*
Oleh Herna S Zaldi