Defacto – Saat ini berbagai sektor kehidupan di Indonesia terkesan carut-marut. Anak-anak muda tidak memahami sejarah, sementara tidak ada tokoh yang bisa dijadikan contoh. Falsafah politik sekarang, yang benar belum tentu menang, yang salah belum tentu kalah.
Demikian poin-poin yang mengemuka . Diskusi menghadirkan penyair Isti Nugroho, Budayawan Dr. Zastrouw Al Ngatawi, dengan moderator Penyair Amin Kamil, dengan tajuk “Indonesia di Persimpangan Sejarah”, di Warung Presiden (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu (27/12/2023).
Menurut Budayawan Isti Nugroho,
Indonesia sekarang bukan lagi berada di persimpangan sejarah, tetapi sudah berada dalam lika-liku sejarah. Persimpangan sejarah itu sudah terjadi saat sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan, sampai tahun 1965.
“Waktu tahun 65, Indonesia berada di persimpangan. Apakah Indonesia mau ke kiri atau ke kanan. Akhirnya Indonesia berkiblat ke Barat. Yang dulu dikatakan oleh Soekarno go to hell with your aid, bantuan itu akhirnya diterima oleh Soeharto, sampai bantuan itu menjatuhkannya sendiri,” kata Isti Nugroho.
Sejak reformasi sampai saat ini, ekonomi liberal menguasai Indonesia. Tidak ada lagi yang mau memikirkan bagaiamana seharusnya Indonesia ke depan. Semua berpikir pragmatis. Dalam politik, falsafah yang dipakai adalah, yang benar belum tentu menang, yang salah belum tentu kalah.
Narasi-narasi yang disampaikan oleh tokoh politik, terutama oleh Capres dan Cawapres menjelang Pemilu 2024 ini, tidak memberi gagasan yang kuat bagi kemajuan Indonesia ke depan.
“Seperti janji pasangan Pranowo – Gibran yang akan memberikan makan siang gratis, dengan anggaran 450 triliun. Lha untuk apa? Apa yang akan dihasilkan dengan makan siang berbiaya 450 triliun itu? Orang di luar sudah bicara gagasan untuk kemajuan peradaban dunia, di sini masih bicara untuk memberi makan! Soal memberi makan itu kan bukan gagasan yang luar biasa!. Sejak jaman dulu orang sudah berbicara tentang memberi makan,”papar Isti Nugroho.
Dr. Zastrouw Al Ngatawi melihat, generasi muda saat ini tidak memahami sejarah. Anak-anak muda tidak tertarik bila diajak bicara sejarah. Mereka lebih tertarik berbicara hal-hal yang terkait materi.
“Anak-anak muda sekarang seperti menghilang. Padahal bukan menghilang, tetapi kita yang tidak bisa menemukan cara berkomukasi dengan mereka,” kata Al Zastrouw.
Menurut mantan asisten pribadi Presiden Abdurrahman Wahid itu, orangtua terlalu takut anaknya hanyut dalam budaya liberal, sehingga lalu dibuatlah tembok-tembok tebal untuk menghalangi, seperti Syariat Islam, UU pornografi, dan lain-lain. Tetapi setebal apapun tembok yang dibuat, tetap saja bisa jebol.
“Lebih baik kita meningkatkan imunisasi kurtural bukan dengan melarang.
Tembok setinggi apapun akan jebol.
Daripada capek-capek bikin tembok, kenapa anak-anak tidak kita ajarin saja berenang, supaya lebih kreatif. Kalau dia bisa berenang kan bisa menyelamatkan diri,” kata Al Zastrouw.
Al Zastrouw juga bingung apakah sejarah masih relevan dengan anak muda sekarang atau tidak. Karena pendidikan sekarang lebih ke arah kognitif (pemikiran). Orang belajar agama hanya jadi ilmu pengetahuan.
“Pendidikan sekarang lebih mengarah ke kognitif (pemikiran). Anak-anak sekarang lebih banyak disuruh menghapal, belajar sangat banyak. Jangan-jangan anak-anak stunting bukan karena kurang gizi, tapi karena kebanyakan bawa buku,” katanya. (hw)