Oleh LAKSAMANA SUKARDI

September 1997, Kredibilitas Pemerintah Semakin Tergerus
PEMERINTAH mengumumkan program stabilisasi ekonomi pengetatan ikat pinggang, dengan memperketat anggaran keuangan negara. Para teknokrat sudah mulai berani menyentuh hal sensitif, yaitu melakukan program penundaaan mega-proyek pembangkit listrik yang dimiliki oleh keluarga Presiden Soeharto. Pemerintah juga mengumumkan program restrukturisasi sektor perbankan dengan rencana menutup dan mencabut izin operasi beberapa bank.
Namun demikian, karena para teknokrat ragu-ragu akan reaksi Presiden Soeharto terhadap penundaan proyek-proyek yang dimiliki oleh keluarganya, maka program pemerintah tidak diikuti dengan penjelasan yang lengkap terutama terhadap jadwal eksekusi. Apalagi rencana penutupan bank tidak dikeluarkan secara lengkap dengan kriteria yang tegas.

Alih-alih memperbaiki situasi, masyarakat ternyata memberikan respon negatif akibat program yang dikeluarkan bersifat ambigu (tidak tegas). Persepsi yang terbentuk adalah, pemerintah tidak akan serius melaksanakan programnya karena adanya tekanan-tekanan politik dari keluarga presiden dan para kroni.
Akibat tekanan politik tersebut, pemerintah mengendorkan suplai uang beredar dengan menurunkan tingkat suku bunga. Alasannya agar para pebisnis bisa mempertahankan keberlangsungan usaha mereka.
Namun demikian, ada kebijakan yang mengecewakan dan menambah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yaitu diijinkannya kembali 15 mega-proyek yang sebelumnya termasuk dalam daftar proyek yang ditunda. Mega-proyek tersebut memiliki koneksi politik yang kuat dengan para kroni dan keluarga istana. Keputusan tersebut semakin menggerus kredibilitas pemerintah, karena dianggap tidak serius menjalankan stabilisasi ekonomi nasional
Oktober 1997, Pemerintah Minta Pertolongan IMF
NILAI tukar rupiah semakin anjlok walaupun Bank Indonesia terus-menerus menghamburkan cadangan devisa dengan melakukan intervensi pasar untuk menyelamatkan rupiah. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk minta pertolongan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendongkrak kepercayaan dan kredibilitas negara Republik Indonesia.
Akhir bulan Oktober, Dana Moneter Internasional (IMF) menerapkan paket stabilisasi ekonomi pertama, dengan memberikan komitmen dana yang cukup besar yaitu AS$10,1 milyar. Jumlah ini kurang lebih 4 kali dari kuota Indonesia. Pinjaman IMF sebesar AS$4 milyar digunakan oleh Bank Indonesia untuk program penguatan Rupiah sekaligus merestorasi kepercayaan. Hasilnya, rupiah mulai menguat sebesar 10%. Akan tetapi penguatan tersebut hanya berlangsung sementara.
November 1997, Penutupan 16 Bank
Pemerintah menandatangani Letter of Intent (LOI) pertama. LOI adalah surat pernyataan sanggup melaksanakan program-program yang diuraikan dalam surat tersebut. LOI merupakan persyaratan dari pinzaman IMF dan pada umumnya ditanda tangani pemerintah sebelum pencairan pinjaman dilaksanakan.
Saya melihat bahwa LOI merupakan upaya para teknokrat untuk menggunakan tangan IMF agar Presiden Soeharto mau melakukan reformasi dan menghapus distorsi-distorsi ekonomi yang diakibatkan oleh bisnis para kroni dan putra-putri presiden yang mendapatkan perlakuan khusus.
Saya setuju dengan para teknokrat, bahwa kepercayaan dan kredibilitas pemerintah akan segera pulih jika Presiden Soeharto secara terbuka memberikan komitmen untuk memperbaiki distorsi ekonomi yang dilakukan oleh keluarga dan kerabat presiden. Masalahnya, ”apakah presiden rela?”

Harapan tersebut menemui kenyataan pahit. Ternyata presiden Soeharto tidak serius dan setengah hati. Kenyataan tersebut terbukti ketika penutupan 16 bank yang dilakukan pemerintah mendapat banyak kritikan. Sebab, selain kriterianya tidak transparan, ternyata ada beberapa bank yang bermasalah besar dan sudah tidak aktif, seperti Bapindo dan Bank Pacific, tidak termasuk dalam daftar bank yang ditutup.
Kepercayaan semakin melorot walaupun pemerintah mulai memberikan garansi atau asuransi deposito terhadap deposito di bawah Rp20 juta. Garansi tersebut bertujuan untuk menjamin penyandang dana kecil, agar mereka mendapatkan ketenangan dan tidak menarik uangnya dari perbankan nasional.
Di samping itu, pemerintah juga mengumumkan rencana untuk melakukan pengetatan supervisi kepada 34 bank besar, serta melakukan restrukturisasi dan pengawasan terhadap beberapa bank swasta. Pemerintah juga merencanakan melakukan reformasi terhadap bank-bank pemerintah.
Kenyataan bahwa tidak adanya transparansi dan kriteria yang jelas, telah menciptakan persepsi negatif terhadap kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Keputusan pemerintah terhadap pencabutan ijin dan restrukturisasi perbankan dianggap tidak tuntas dan setengah hati. Bahkan dianggap masih ada tujuan melindungi bank-bank yang dimiliki oleh keluarga presiden serta kerabat kerabat mereka.
Apalagi ketika Bambang Trihatmodjo, putra Presiden Soeharto mengumumkan akan menuntut Menteri Keuangan karena telah menutup Bank Andromeda yang dia miliki. Lebih konyol lagi, para pejabat dengan bantuan para pengusaha kroni, secara tidak langsung membantu Bambang Trihatmodjo dengan mengaktifkan kembali Bank Andromeda. Maka Bank Andromeda lantas ber-reinkarnasi menjadi Bank Alfa, walaupun akhirnya Bank Alfa juga ditutup.
Celakanya, yang berencana menuntut Menteri Keuangan atas penutupan bank miliknya bukan hanya Bambang Trihatmodjo. Probosutedjo, adik Presiden Soeharto, juga berencana menuntut karena Bank Jakarta miliknya termasuk dalam daftar 16 bank yang ditutup. Kepada media, Probosutedjo bahkan mengatakan bahwa hampir 90% bank yang ada juga melanggar Legal Lending Limit (3L).
Catatan: Legal Lending Limit atau Batas Maksimum Pemberian Kredit adalah jumlah maksimum pemberian kredit yang disalurkan sebuah bank kepada satu debitur atau satu grup usaha atau kepada seorang pemegang saham pada bank yang bersangkutan.
Perlawanan yang dilakukan keluarga presiden dan perlakuan khusus yang diberikan oleh pemerintah, menjadi faktor utama yang membuat semakin hilangnya kredibilitas dan kepercayaan terhadap pemerintah.
Walaupun saya telah sibuk dengan aktivitas politik pada waktu itu, saya merasa perlu mengambil sikap untuk terus menyuarakan pikiran-pikiran saya. Dalam beberapa kesempatan wawancara saya dengan media dan pers, saya menyatakan sikap saya agar pemerintah harus transparan dan obyektif dalam mengambil kebijakan dalam rangka pemulihan kepercayaan dan stabilisasi ekonomi, khususnya penutupan bank-bank.

Saya melihat problem yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, bukanlah problem perbankan semata-mata. Bukan pula problem moneter yang harus diselesaikan secara konvensionil. Yaitu dengan pengetatan uang beredar, menaikan suku bunga. IMF juga memberikan resep perbaikan yang salah pada awal-awalnya, karena mereka juga tidak sadar bahwa problem Indonesia adalah problem struktural yang lebih dalam.
Indonesia tak bisa lain harus memperbaiki lima kondisi PANCASALAH seperti yang telah saya uraikan. Yaitu Indonesia harus menciptakan: (1) tata kelola yang baik (good governance); (2) menciptakan transparansi; (3) menghilangkan tekanan/intervensi politik; (4) memperkuat lembaga/institusi (baik lembaga negara maupun lembaga swasta); dan (5) menciptakan kepastian hukum.
Saya menekankan bahwa kebijakan melikuidasi bank-bank jika tidak diikuti dengan pembersihan PANCASALAH, tidak akan ada gunanya. Oleh karena itu, saya lebih cenderung mengambil sikap agar pemerintah menciptakan tata-kelola yang baik atau good governance dalam perbankan, dengan mendiversifikasikan kepemilikan saham bank agar tidak ada lagi pemegang saham otoriter yang tidak terkontrol. Dengan adanya pembatasan kepemilikan tersebut, maka akan terjadi sebuah proses pengawasan melekat. Mereka saling mengawasi baik di tingkat manajemen maupun di tingkat komisaris. Dengan demikian, perbankan dipaksa secara alami untuk menjadi transparan.
Di sektor riel, perdagangan dan industri kita harus menghilangkan distorsi-distorsi seperti pemberian hak monopoli dan konsesi pengelolaan ekonomi secara KKN. Monopoli yang harus dihapus di antaranya monopoli ekspor impor minyak, impor tepung terigu, impor beras, perdagangan cengkeh dan kebijaksanaan produksi mobil nasional yang mendapatkan kemudahan kemudahan perpajakan dan bea masuk (SALAH ASUH).
Di samping itu, upaya penyelamatan uang negara terhadap perbankan yang dilikuidasi harus mempertimbangkan unsur kepastian hukum di Indonesia. Dalam situasi dan kondisi tanpa kepastian hukum (SALAH TAFSIR) dan tidak adanya independensi lembaga penegakkan hukum (SALAH ASUH), akan sangat sulit bagi kita untuk menyelamatkan uang negara melalui jalur hukum.
Pemerintah (Bank Indonesia) harus memaksakan opsi kepada para pemilik bank untuk menambah setoran modal dan menutup kerugian sebelum bank miliknya di non aktifkan atau ijinnya dicabut. Likuidasi dan penutupan ijin hanya membuat para pemilik bank lepas tangan dan lepas tanggung jawab, bahkan pemerintah harus menanggung kerugian. Likuidasi perbankan, apalagi dilakukan secara tidak transparan akan melikuidasi kepercayaan pemerintah.
Pendapat tersebut diatas, saya ungkapkan dalam kesempatan diwawancara oleh majalah Warta Ekonomi, “Kita Tak Bisa Main Tebak-Tebakan”, edisi November 1997.
Warta Ekonomi “Kita Tak Bisa Main Tebak-Tebakan” edisi November 1997
“Yang diperlukan di bidang ekonomi adalah reformasi kebijakan untuk menghilangkan distorsi- distorsi ekonomi pasar seperti monopoli, dalam arti konsesi yang tidak fair.”
“Kalau memang secara politis dan legal siap, ya likuidasi. Saya tak melihat sistem hukum kita mampu menanggulangi persoalan likuidasi. Apakah siap secara mental, legal dan kondisi sosial? Yang menjadi pertanyaan, mengapa bank anu dilikuidasi tetapi bank yang ini tidak dilikuidasi. Ada standar ganda.” Laksamana Sukardi
{BERSAMBUNG: DI BALIK REFORMASI 1998: Detak Detik Sumbu Bom Waktu (III)}