06. POLIGAMI
USIA Mas Tom 80 tahun, saya 71 tahun, selisih sembilan tahun. Saya mengenal Mas Tom sejak kecil, dulu sering diajak mancing dan nonton sepak bola. Kami bersahabat sejak lama. Dan selisih usia yang cukup jauh itu membuat saya menghormatinya, bahkan dalam beberapa hal mengaguminya. Oleh karena itu, mendengarkan kisah dan pengakuan Mas Tom, bagi saya, membuat saya merasa mendapat pelajaran atau sesuatu yang bisa saya pelajari di usia yang sudah tua. Sebab, di usia 71 tahun, membaca buku membuat saya mudah lelah. Tapi, mendengar dan berdialog dengan Mas Tom, membuat adrenalin di sekujur darah mengembalikan gairah atau sekurangnya bikin saya jadi merasa lebih muda.

“Perselingkuhan yang melibatkan emosi, mengikut sertakan hati, seperti yang saya alami dengan Mira, membuat saya cenderung berpikir matematis. Saya sering memperbandingkan Ning dengan Mira, dan secara subjektif menemukan begitu banyak kekurangan Ning. Logika baik dan buruk, benar dan salah, jungkir balik tidak keruan, dan selalu saja Mira lebih unggul dari Ning. Lebih dari satu tahun saya mengalami silang sengkarut pemikiran dan perasaan seperti itu. Tapi, anehnya, saya selalu menemukan rasa nyaman jika berada di dekat Mira. Mungkin karena saya mencintainya. Atau barangkali karena saya merasa kembali hidup di masa remaja, ketika cinta di atas segala-galanya,” kata Mas Tom memecah kebisuan yang beberapa saat mengepung ruang tamu.
“Kenapa Mas Tom tidak melakukan poligami saja?” tanya saya.
Maa Tom tersenyum, “Ya…, agama memberikan solusi. Tapi, bagaimana caranya mengaku pada Ning? Bagaimana caranya minta ijin mau nikah lagi? Menikah diam-diam? Saya tidak bisa melakukannya. Lebih lagi…, saya Katolik,” jawab Mas Tom.
“Oh…, iya ya….:
“Walaupun di saat berada di titik genting itu saya bukan lagi Katolik yang baik, tapi saya masih ingat komitmen saya waktu dulu menikah. Situasinya memang kacau, sulit dipahami, rumit dan membingungkan. Sampai pada suatu kejadian, Mira kedatangan tamu laki-laki….”
Saya menahan napas, menunggu beberapa saat Mas Tom yang tiba-tiba terdiam.
“Poligami dan bercerai adalah dua hal yang dulu pernah terpikirkan. Tapi, tamu laki-laki Mira itu mengubah segalanya. Namanya Rudy, teman Mira waktu SMA. Rudy sudah tiga tahun menduda karena bercerai. Anaknya dua, diasuh istrinya. Sekarang ini saya dapat ceritakan dengan tenang, sebagai suatu hal yang sederhana. Tapi, dulu, saya terbakar rasa cemburu. Dan itulah kali pertama saya dan Mira ribut. Saya terbakar kecemburuan yang hebat. Mengherankan, karena saya tidak pernah mencemburui Ning. Saya akan ceritakan nanti, kalau kita ngobrol lagi. Detail-detail peristiwanya begitu rumit dan aneh. Yang jelas, saya kembali cenderung berpikir matematis, menimbang untung rugi. Poligami, saya pasti tidak akan mungkin melakukannya. Tapi, kalau saya bercerai dengan Ning, saya akan kehilangan Ning, ketiga anak saya, mungkin juga rumah dan mobil. Pikiran semacam itu tiba saja menghadapkan saya pada realita faktual bahwa menceraikan Ning, bahwa meninggalkan keluarga, adalan pilihan bodoh. Pilihan yang tidak masuk akal sehat,” kata Mas Tom.
Saya manggut-manggut. Entah kenapa saya merasa lega. Mungkin lantaran saya termasuk kelompok suami yang menolak poligami dan anti perceraian. Saya tidak punya alasan untuk menyetujui kedua hal tersebut. Hanya menolak dan anti saja. Itulah sebabnya saya menghormati Mas Tom, yang telah berhasil menjaga keutuhan rumah tangganya selama 50 tahun, sampai Mbak Ning berpulang. Kalau Mas Tom pernah berselingkuh, saya pikir dan seperti kata Mas Tom, selalu ada alasan dan argumentasi yang masuk akal sebagai alat pembenaran perselingkuhan. Saya kira, Mas Tom benar soal itu.
“Sekarang, saya dapat menceritakan garis besar titik genting dengan santai. Padahal, dulu akal pikiran dan gelombang perasaan jungkir balik. Saya ulangi lagi…, jungkir balik! Tapi, seperti sulapan, tiba-tiba berakhir begitu saja. Pikiran dan perasaan saya terpuruk masuk ke dalam ruang batin…,” kata Mas Tom bergumam
Ruang batin, saya mengulang kata itu di dalam hati. Ruang batin. ***