17. ULANG TAHUN
PUKUL 11.00 WIB, saya dan Mas Tom sampai di Rumah Lansia. Suasana ruang tamu Rumah Lansia itu cukup ramai. Sekitar 10 penghuninya duduk di kursi yang diatur berjejer di seberang meja yang di atasnya ada beberapa piring kue-kue. Mas Ar dan Mbak Dien tampak di sudut. Mbak Dien duduk di kursi roda, tersenyum ke semua orang, matanya kosong dan hampa. Kami diperkenalkan dengan pasangan dokter setengah baya, Pak Amin dan Bu Tatik, yang duduk di samping Bu Susan yang tampak gelisah dan berulang kali menengok arlojinya dan melongok jam dinding. Di pojok ruangan, player piringan hitam mengalunkan lagu A Whiter Shade Of Pale – nya Procol Harum yang dirilis tahun 1967. Menghanyutkan.
Bu Susan bangkit ke arah pintu, melongok ke jalan, kemudian bicara pada yang hadir. “Bapak Ibu sekalian…, mohon maaf ya…, anak-anak saya janji datang pukul 10. Tapi anak-anak memang suka terlambat. Maaf ya…, sebentar lagi acaranya kita mulai….”
Bu Susan tersenyum pahit. Matanya mengembang basah, diseka dengan sapu tangan warna pink. Saya melihat wajahnya tampak mencoba membungkus kesedihan, kemarahan atau kekecewaan dengan senyum dan sikapnya yang riang tapi ganjil.
Kemudian Pak Amin dan Bu Tatik mendekati Bu Susan, tampak berbisik mengatakan sesuatu. “Kita mulai saya, Bu Susan. Mungkin anak-anak Bu Susan lupa, atau ada kesibukan yang lebih penting. Kita mulai saja ya?”
Bu Susan menatap Pak Amin, lalu mengangguk pelan. Harapannya runtuh. Pak Amin dan Bu Amin meminta 10 penghuni Rumah Lansia menyanyikan lagu ulang tahun. Mas Ar mematikan piringan hitam, meninggalkan Mbak Dian yang tersenyum-senyum di sudut ruangan, saya temani bersama Mas Tom. Orang-orang bernyanyi, Bu Susan tersenyum dan tertawa. Tapi wajahnya tampak sedang menahankan perasaan duka. Untuk kesekian kalinya, anaknya tidak hadir di hari ulang tahunnya. Kemudian Bu Susan menyilakan orang-orang makan kue. Ada yang mengantonginya. Pak Amin dan Bu Tatiek beranjak pergi.
Mas Ar mengganti piringan hitam. Lagu Rain and Tears yang dinyanyikan Demis Roussos mengalun lembut mengiris perasaan. Bu Susan menghampiri Mas Ar, meraih tangannya. Mas Ar tampak ragu, menoleh ke arah Mbak Dien yang saya jaga berdua Mas Tom. Kemudian Mas Ar menyambut tangan Bu Susan. Mereka berdansa, mengikuti irama lagu Rain and Tears yang mengiris perasaan.
Mas Tom bergerak, duduk di depan Mbak Dien, menghalangi pemandangan Mas Ar dan Bu Susan yang sedang berdansa. Mbak Dien tersenyum menatap Mas Tom, terus-menerus terseyum dengan sorot mata kosong dan hampa. Saya mengambilkan serambi gulung, dan Mas Tom menyuapi Mbak Dien dengan potongan kecil. Saya merasakan kehilangan sesuatu. Kesetiaan. Sebuah keajaiban. ***