01.SURAT ISTRI
SAYA melangkah tertatih memasuki halaman rumah Mas Tom yang hari ini genap berusia 80 tahun. Saya ingin menyalaminya, dan untuk itu saya memaksakan diri mendatangi rumahnya yang mungil di mana ia tinggal sendirian. Istrinya wafat sebulan lalu. Ketiga anaknya tinggal di luar kota. Perlahan, saya ketuk pintu rumahnya. Lima menit kemudian, saya menyalami tangannya yang kurus mengeriput dan kami berpelukan.

“Terima kasih…, terima kasih…, silakan duduk,” katanya sambil membawaku duduk di kursi kayu tua itu.
“Selamat ya, Mas. Di usia 80 tahun masih sehat. Saya yang baru 71 tahun saja sudah stroke,” kata saya memuji.
“Ya.., saya sehat. Mestinya istri saya yang hidup dan saya yang mati. Ning baru 74 tahun, tapi kalah dengan diabetes. Yaah, namanya takdir. Tapi, saya sedih banget karena semalam menemukan surat ucapan selamat ulang tahun ke 80 buat saya. Surat itu ditulis seminggu sebelum Ning wafat,” kata Mas Tom lirih.
Saya terdiam. Saya melihat jemari kurus Mas Tom mengusap kedua matanya yang basah. Lalu Mas Tom mendongak, memejamkan kedua matanya. Cahaya matahari pagi yang menerobos kaca jendela, membuat air mata yang masih tersisa di bulu mata Mas Tom berkilat laksana sisa gerimis.
“Saya pikir, surat itu pasti ditulis dengan susah payah. Dengan jari gemetar. Tulisannya tidak sebagus biasanya. Di selembar kertas biasa, Ning menulis: selamat ulang tahun yang ke 80 ya, Mas Tom. Selalu sehat dan panjang umur. Terima kasih Mas sudah ijinkan saya mencintaimu, menjadi milikmu selama 50 tahun ini. Saya bahagia,” kata Mas Tom, lalu dengan suara terbata-bata melanjutkan,”Saya menangis membacanya. Selama 50 tahun saya sudah berulang kali menyakiti hatinya, menyelingkuhi kesetiaannya, dan Ning merasa bahagia karena mencintai saya. Saya menangis sepanjang malam. Menangis dalam penyesalan karena baru mengetahui alangkah hebatnya cinta Ning kepada saya. Alangkah besarnya harapan Ning kepada saya. Ya Tuhan…. ”
Saya mengusap pundaknya, membiarkan Mas Tom membungkuk menutupi kedua matanya dengan jemari dan terisak-isak. Saya tidak kuasa membujuk kecuali membiarkannya meluapkan perasaan. Saya belum pernah menyaksikan Mas Tom serapuh itu. Saya mengenalnya sejak Mas Tom masih muda, beringas dan jago berkelahi. Saya lebih sering melihatnya menggeram, berteriak mengancam, dan belum pernah sekalipun menyaksikannya menangis seperti pagi ini. Menyaksikannya begitu rapuh, tampak lebih tua dari umurnya yang sudah lanjut. Menangis hanya karena menemukan sebuah surat pendek istrinya, yang ditulis satu minggu sebelum almarhumah meninggal dunia.
Saya menarik napas dalam-dalam, mengisi rongga dada yang terasa sesak dengan oksigen sebanyak mungkin. Saya pikir, ini awal yang menarik untuk mulai mengisahkan rahasia suami yang sudah sepuh. Kisah lelaki yang semakin dekat dengan kematian. Saya ingin menuturkannya hari demi hari, sekeping demi sekeping. Dan saya sudah mulai menuliskan ceritanya. ***