Ada tiga persoalan menarik terkait pengadaan pangan di Indonesia. Yang pertama adalah food estate, penanaman bahan pangan oleh pemerintah, kedua program makan siang gratis, dan ketiga soal alih fungsi lahan.
Food estate sudah berjalan, meskipun menurut berita yang beredar, diwarnai kegagalan; program makan siang gratis baru digagas oleh Pasangan Capres / Cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka; dan terakhir soal alih fungsi lahan yang terus menggerogoti lahan-lahan pertanian di Indonesia.
Jika dibalik, dan dikembalikan ke masa lampau, sesungguhnya food estate dan program makan siang gratis tidak perlu dikerjakan, andaikata alih fungsi lahan bisa dikendalikan. Dengan lahan pertanian terjaga, pengelolaan lahan yang semakin modern, dan pupuk terjamin, Indonesia tidak dipastian tidak perlu mengimpor bahan pangan.
Namun apa daya, atas nama pembangunan dan kebutuhan, alih fungsi lahan tidak bisa direm. Sampai hari ini. Pelakunya bukan cuma swasta, tetapi pemerintah dan bahkan masyarakat pemilik lahan itu sendiri, dengan alasan kebutuhan ekonomi.
Bagaimana ke depan? Apakah alih fungsi lahan akan didiamkan terus, sedangkan kebutuhan pangan terus meningkat? Ini yang perlu dipikirkan, dibuat kebijakan yang tepat dan tidak main-main. Sementara kekurangan produk pertanian masih bisa diimpor. Tetapi ke depan akan semakin sulit, karena negara-negara penghasil bahan pangan juga akan mengerem / menyetop ekspor demi ketahanan pangan sendiri, atau proses pengiriman yang semakin mahal dan sulit akibat perang. Saat ini saja ekspor gandum Ukraina terganggu karena perang, dan jalur pelayaran di Laut Merah yang semakin berbahaya karena ancaman milisi Houthi.
Memcermati hasil Pilpres 2024 yang baru lalu, dalam hitungan sementara, Pasangan Prabowo – Gibran unggul. Jika hasil hitungan KPU tetap memenangkan pasangan tersebut, kemudian sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi tidak berpengaruh banyak, dipastikan Prabowo Subianto jadi Presiden RI ke-9 dan Gibran menjadi Wakilnya.
Bila keduanya berkuasa, tentu mereka akan menjalankan program yang dijanjikan, yakni makan siang gratis. Program ini akan menyedot anggaran Rp.400 trilyun / tahun!
Makan siang gratis bukanlah program yang jelek. Memberi makan rakyat yang sedang kesusahan tentu sangat mulia. Tetapi apakah tidak ada jalan lain untuk mengisi perut rakyat? Bukankah kita mengenal ungkapan: lebih baik memberi pancing daripada ikan.
Daripada memberikan makan siang gratis, mengapa anggaran yang demikian besar itu tidak dialokasikan untuk membuat food estate. Tentu food estate yang benar. Bukan asal bongkar lahan, tanam bibit, lalu tunggu keajaiban panen.
Food estate hendaknya dipersiapkan dengan matang. Mulai dari penelitian kelayakan lokasi, tenaga-tenaga kerja yang menangani, infrastruktur, hingga kebijakan hulu dan hilirnya. Perlu dipahami benar, apakah lahan yang dipilih memang cocok untuk tanaman pangan.
Sejak jaman dulu, tanah terbaik untuk penanaman padi berada di pulau Jawa. 1 hektar sawah di Jawa bisa menghasilkan 6 – 7 ton padi basah. Bahkan di delta Sungai Brantas, di Tuban, bisa menghasilkan 10 ton per hektar. Sehingga petani di sana selalu berpesta setiap habis panen. Sedangkan di Sumatera, saya pernah mengunjungi petani di Kampar, Riau, hanya menghasilkan 4 ton padi per hektar.
Di Berau, Kalimantan Timur terdapat padi gunung, dengan hasil panen antara 3 – 4,5 ton per hektar. Di Sulawesi Selatan menghasilkan 6 – 7 ton per hektar.
Meskipun memiliki lahan tersubur, ironisnya lahan-lahan pertanian di Jawa terus menyusut. Masyarakat, swasta dan pemerintah berlomba menghabiskan lahan pertanian, untuk pembangunan fisik.
Sudah waktunya pemerintah membuat undang-undang yang melarang alih fungsi lahan pertanian. Terutama di Jawa. Pemerintah harus membuat zonasi wilayah pertanian, yang tidak boleh sembarangan dijual atau dialihfungsikan. Di lahan-lahan itulah pemerintah menetapkan sebagai food estate.
Bagaimana jika pemilik ingin menjual karena kebutuhan ekonomi? Pemerintah harus membelinya! Jadi tanah pertanian itu akan menjadi milik pemerintah, tetapi boleh digarap oleh masyarakat, untuk pertanian, di bawah pengawasan sebuah jawatan pemerintah.
Untuk membeli tanah-tanah pertanian rakyat, gunakan anggaran yang direncanakan untuk program makan siang gratis. Jika setahun ada 400 trilyun anggaran yang ada, maka dalam satu periode pemerintah baru, tersedia dana 2.000 trilyun. Cukup banyak untuk membeli lahan-lahan pertanian rakyat yang akan dijual, dengan harga yang disepakati bersama.
Ide ini kedengarannya tidak masuk akal. Tetapi kadang ide tak masuk akal yang bisa menyelamatkan. Ingat, pemerintah Cina pernah membuat kebijaksanaan 1 pasangan suami isteri hanya boleh memiliki 1 anak. Dan Cina berhasil mengatasi ledakan penduduk. Kini setelah makmur, kebijakannya beda lagi. (hw)